INDORAYA – Akademisi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang turut merespon situasi nasional setelah usai Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tidak mengakomodir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024 tentang pencalonan kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.
Unika menilai bahwa saat ini telah terjadi krisis demokrasi substantif dan krisis konstitusi di Indonesia. DPR RI secara sadar dinilai telah mematikan aspirasi masyarakat guna membangun demokrasi lokal melalui dan melakukan pembangkangan terhadap putusan MK hanya demi kepentingan politik praktis elite sesaat dan berpihak pada kepentingan oligarki.
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Rektor Unika Soegijapranata Semarang, Ferdinandus Hindiarto, bersama civitas akademisi lainnya memandang bahwa perguruan tinggi Katolik harus berani berbicara tentang kebenaran yang pahit. Hal ini sesuai dengan Konstitusi Apostolik “Ex Corde Ecclesiae” (Dalam Hati Gereja) yang ditulis Paus Yohanes Paulus II.
“Yang menyatakan bahwa Bilamana diperlukan, pendidikan tinggi Katolik harus berani berbicara tentang kebenaran yang tidak mengenakkan, yang tidak menyenangkan opini publik, tetapi diperlukan untuk menjaga kebaikan masyarakat yang sesungguhnya,” kata Ferdinandus, dalam keterangan yang diterima, Kamis (22/8/2024).
Dia mengatakan, Mgr. Albertus Soegijapranata sebagai payung universitas, mewariskan nilai cinta pada tanah air yaitu 100 persen Indonesia. Sikap yang diambil Unika Semarang saat ini adalah ungkapan kecintaan terhadap bangsa dan negara Indonesia ketika DPR dan pemerintah melakukan upaya yang melenceng dari konstitusi dan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.
Ferdinandus mengatakan, civitas akademika Unika Soegijapranata Semarang menyatakan empat sikap atas situasi dan kondisi bangsa yang terjadi saat ini. Pertama, Unika meminta seluruh komponen bangsa harus tunduk pada konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Meminta kepada Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan menghentikan proses revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024,” ujarnya.
Ketiga, kalangan akademisi Unika Soegijapranata Semarang menuntut agar DPR RI menjunjung tinggi konstitusi dengan mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Meminta KPU RI agar bertindak independen dan tidak mau dikooptasi pihak mana pun sehingga segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila,” tandas Ferdinandus.


