INDORAYA — Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko, menyoroti fenomena pernikahan dini yang masih marak di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Menurutnya, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan kemiskinan dan rendahnya akses pendidikan, terutama di wilayah pedesaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sekitar 9% perempuan berusia 20–24 tahun di Jawa Tengah telah menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini memang menurun dari 9,75% pada 2023, namun masih jauh dari target nasional nol dispensasi nikah pada 2026.
“Pernikahan dini bukan hanya soal moralitas, tapi juga soal masa depan ekonomi dan pendidikan bangsa. Jika anak perempuan berhenti sekolah karena menikah muda, berarti kita sedang kehilangan satu generasi produktif yang bisa memutus rantai kemiskinan,” ujar Heri.
Ia mencontohkan, daerah seperti Wonogiri, Pemalang, Cilacap, dan Grobogan masih tergolong rawan pernikahan dini. Dalam kurun Januari–Juli 2025, tercatat 42 kasus dispensasi nikah di Wonogiri saja.
Sementara di Wonosobo, angka pernikahan dini menurun tajam setelah diterapkannya edukasi reproduksi dan pendampingan keluarga berbasis sekolah dan pesantren.
Menurut Heri, data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dan pemberdayaan keluarga adalah faktor paling efektif untuk menekan praktik pernikahan dini.
“Anak-anak harus tumbuh dengan pengetahuan, bukan tekanan sosial. Kalau mereka tahu bagaimana masa depan bisa berubah lewat pendidikan, mereka akan lebih berani menolak pernikahan yang dipaksakan atau karena keadaan,” tegasnya.
Her menilai, masih banyak orang tua di daerah miskin yang memandang pernikahan sebagai jalan keluar ekonomi. Padahal, justru sebaliknya; pernikahan dini sering berujung pada kemiskinan baru karena minimnya kesiapan finansial dan pendidikan.
“Pendidikan bukan sekadar soal bangku sekolah, tapi soal pembentukan logika dan kemandirian. Negara harus memastikan anak-anak di keluarga miskin tetap bisa belajar tanpa khawatir soal biaya,” jelasnya.

Heri pun mengapresiasi berbagai langkah pemerintah daerah, termasuk program “Jokawin Bocah” dan Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), yang menyasar peningkatan kesadaran remaja dan orang tua.
Namun, menurutnya, upaya itu perlu ditopang pendekatan lintas sektor; antara dinas sosial, pendidikan, kesehatan, dan tokoh masyarakat.
“Masalah sosial seperti ini tidak bisa dihadapi satu dinas saja. Harus ada sistem yang menyatukan intervensi pendidikan, ekonomi, dan perlindungan anak dalam satu arah kebijakan,” ungkapnya.
Selain itu, Heri menilai sekolah perlu menjadi ruang aman bagi remaja untuk belajar tentang tanggung jawab, kesehatan reproduksi, dan hak-hak anak.
Ia menegaskan bahwa edukasi tersebut tidak bertentangan dengan nilai budaya atau agama, justru sejalan dengan upaya menjaga martabat anak.
“Kalau sekolah hanya mengajarkan pelajaran kognitif tanpa membekali anak dengan pemahaman sosial dan moral, maka kita gagal menyiapkan generasi yang berdaya. Pendidikan harus menjadi tameng sosial,” katanya.
Heri juga mengingatkan bahwa persoalan pernikahan dini adalah indikator ketimpangan sosial yang harus segera diatasi. Ia mendorong agar Pemprov Jateng memperkuat sinergi dengan BPS, KemenPPPA, dan Dinas Pendidikan untuk menciptakan sistem deteksi dini terhadap anak-anak berisiko putus sekolah.
“Kalau kita ingin menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan, maka jawabannya bukan hanya bantuan sosial, tapi pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang mencegah anak-anak miskin menjadi miskin lagi karena pernikahan dini,” pungkasnya. [Adv]


