INDORAYA – Menyikapi meningkatnya kasus keracunan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengambil langkah cepat dengan mengoperasikan mobil laboratorium keliling. Fasilitas ini disiapkan untuk memperkuat pengawasan, melakukan mitigasi risiko, serta mempercepat respons ketika terjadi insiden di lapangan.
Upaya tersebut merupakan bagian dari dukungan BPOM terhadap program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Peluncuran mobil lab dilakukan karena program MBG memiliki cakupan sangat besar, yakni melayani 82,6 juta penerima manfaat setiap hari melalui 30.000 SPPG di seluruh Indonesia. Dengan skala sebesar itu, pengawasan dipandang menjadi tantangan besar yang harus diperkuat.
“Jadi begini, kita tahu bahwa pelaksanaan makan bergizi gratis itu adalah pekerjaan yang sangat berat, tetapi mulia dan sangat penting bagi negeri kita,” kata Kepala BPOM, Prof Taruna Ikrar, saat peluncuran Mobil Laboratorium Keliling di Kantor BPOM Semarang, Kamis (4/12/2025).
Taruna menyebut banyaknya pihak yang terlibat dalam penyediaan dan pengolahan makanan membuat risiko degradasi kualitas tidak terhindarkan. Karena itu, pengawasan ketat menjadi keharusan sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 115 Tahun 2025.
“Dengan konteks ini maka tentu salah satu hal yang sangat penting sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 115 tahun 2025 yaitu proses pengawalannya, proses pengawasannya, dan proses mitigasinya. Salah satu lembaga yang ditunjuk adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa BPOM tidak bisa menjangkau semua daerah karena tidak seluruh wilayah memiliki unit pelaksana teknis. Mobil laboratorium keliling menjadi solusi agar pemeriksaan teknis tetap dapat dilakukan di daerah yang belum terlayani.
“Oleh karena itu kami launching yang disebut dengan laboratorium mobil, laboratorium keliling bisa terlayani secara teknis lewat laboratorium berjalanan tersebut,” jelasnya.
Mobil lab ini berperan tidak hanya memperluas cakupan layanan, tetapi juga sebagai alat deteksi cepat untuk menemukan sumber keracunan. Dengan temuan awal tersebut, langkah mitigasi dapat dilakukan segera untuk menjaga keamanan rantai pasok MBG.
“Nah terus faktor yang lebih penting lagi tentu bagaimana proses mitigasinya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi keracunan, proses identifikasi penyebab terjadinya atau etiologinya kita bisa deteksi,” ujarnya.
Selain itu, BPOM juga menyiapkan laboratorium regional sebagai sistem respons cepat yang tersebar di berbagai wilayah. Langkah ini bertujuan memperkuat deteksi dini, mitigasi, serta edukasi bagi masyarakat, termasuk penjamah pangan dan siswa sebagai penerima MBG terbanyak.
Taruna menjelaskan bahwa mobil laboratorium akan digerakkan secara fleksibel ke lokasi yang memiliki tingkat risiko tinggi, baik di SPPG maupun sekolah.
“Ya tentu ya kita akan sesuaikan dengan standar yang kita miliki termasuk ke sekolah-sekolah atau SPPG. Kita akan lakukan tergantung daerah mana yang membutuhkan dan tidak hanya satu tentu ada beberapa nanti,” katanya.
Ia menambahkan bahwa BPOM saat ini memiliki puluhan mobil laboratorium dan akan terus menambah jumlahnya. Namun, seluruh SPPG tidak mungkin diperiksa satu per satu. Pengawasan dilakukan dengan metode surveilans berbasis risiko sehingga daerah yang dianggap lebih rawan akan menjadi prioritas.
“Jadi kita akan hitung daerah-daerah tertentu yang mungkin resikonya tinggi itu akan lebih banyak tetap digunakan dibanding resiko-resiko yang kecil. Karena 30.000 (SPPG) tidak mungkin kita datangin semuanya,” tegasnya.


