INDORAYA — Di tengah upaya reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko menyerukan pentingnya membangun kembali etika publik di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparatur pemerintahan desa. Menurutnya, kemajuan birokrasi tidak akan berarti tanpa landasan moral dan tanggung jawab sosial yang kuat.
“Etika publik adalah jantung dari kepercayaan rakyat. ASN dan perangkat desa bukan hanya pelaksana administrasi, tapi wajah negara di mata masyarakat,” ujar Heri.
Ia menilai bahwa banyak persoalan dalam birokrasi bukan semata karena regulasi yang lemah, melainkan karena hilangnya kesadaran etik dalam pelayanan.
“Kita terlalu sibuk bicara soal sistem digitalisasi dan target kinerja, tapi lupa bahwa pelayanan publik itu soal kejujuran, empati, dan rasa tanggung jawab,” tegasnya.
Berdasarkan survei Ombudsman Jawa Tengah tahun 2025, indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik memang meningkat ke angka 78,5 poin (kategori “baik”), namun keluhan terhadap perilaku aparat masih tinggi, terutama dalam pelayanan administrasi kependudukan, perizinan, dan bantuan sosial. Heri menilai hal ini sebagai sinyal bahwa aspek etika belum sejalan dengan inovasi teknologi.
“Digitalisasi tidak akan menghapus birokrasi korup kalau manusianya tidak berubah. Yang kita butuh bukan hanya ASN yang cepat dan canggih, tapi juga yang punya empati dan kesadaran melayani,” ujarnya.

Heri mengajak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat pelatihan etika dan integritas pelayanan publik, tidak hanya di tingkat ASN, tapi juga sampai pada aparatur desa. Menurutnya, desa adalah garda terdepan dalam relasi warga dengan negara.
“Kalau pelayanan di desa transparan dan adil, kepercayaan masyarakat akan tumbuh dari bawah. Itulah pondasi demokrasi yang sehat,” ucapnya.
Selain pelatihan, Heri mendorong adanya kode etik publik daerah yang bisa menjadi pedoman perilaku bagi ASN dan perangkat desa.
“Bukan hanya aturan disiplin pegawai, tapi pedoman moral yang menekankan tanggung jawab sosial, kesederhanaan, dan profesionalisme,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam konteks perubahan politik pasca-pemilu dan pemerintahan baru 2025, ASN dan aparatur desa harus menjaga netralitas serta menjadi penopang stabilitas sosial.
“Birokrasi bukan alat politik, tapi penjaga keberlanjutan pelayanan negara. Kalau ASN dan perangkat desa bisa menjaga etika, maka pemerintahan kita akan punya martabat,” ujarnya.
Memungkasi, Heri mengajak seluruh aparatur di Jawa Tengah untuk menjadikan pelayanan publik sebagai bentuk pengabdian, bukan sekadar pekerjaan.
“Pelayanan publik yang beretika adalah wujud cinta kepada rakyat. Di situlah letak kemerdekaan sejati seorang abdi negara,” pungkasnya.