INDORAYA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan posisi utang pemerintah Indonesia per Juni 2025 mencapai Rp9.138 triliun. Total utang tersebut terdiri atas pinjaman dan surat berharga negara (SBN).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, mengingatkan bahwa pembayaran utang berasal dari penerimaan pajak negara. Karena itu, menurutnya, pemerintah harus berhati-hati dalam menambah utang agar tetap sesuai dengan kemampuan membayar pokok dan bunga di masa depan.
“Jadi, utang kita pada posisi Juni (2025) total outstanding-nya Rp9.138 triliun. Pinjamannya Rp1.157 triliun dan SBN-nya Rp7.980 triliun,” ujar Suminto dalam Media Gathering 2025 di Novotel Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10).
“Saya bisa menerbitkan SUN (surat utang negara) tenor 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, bahkan 40 tahun, ini yang akan bayar anak cucu kita. Melalui apa? Membayar pajak, makanya utang ini sebenarnya future tax. Artinya, kewajiban yang akan dipenuhi di masa depan oleh generasi yang akan datang. Sehingga kita betul-betul melakukan utang secara hati-hati, terukur, dan dalam batas kemampuan membayar kembali di masa depan,” imbuhnya.
Data Kemenkeu menunjukkan, posisi utang pemerintah pada Juni ini turun tipis dibandingkan Mei 2025 yang mencapai Rp9.177 triliun. Namun, jumlah tersebut tetap meningkat jika dibandingkan dengan akhir tahun 2024 yang tercatat sebesar Rp8.813 triliun.
Jika dirinci, pinjaman naik dari Rp1.147 triliun menjadi Rp1.157 triliun, sementara utang dalam bentuk SBN menurun dari Rp8.029 triliun menjadi Rp7.980 triliun.
Dengan posisi tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 39,86 persen per Juni 2025. Suminto menilai rasio ini masih tergolong aman dan relatif rendah dibandingkan negara lain.
“Satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibandingkan dengan banyak negara … Kita memahami bahwa debt to GDP ratio memang bukan satu-satunya indikator. Kita juga perlu memastikan utang ini kita kelola dengan baik,” tegas anak buah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu.
Kemenkeu mencatat rasio utang Indonesia terhadap PDB naik dari 24,7 persen pada 2014 menjadi 39,8 persen di 2024. Sebagai pembanding, Malaysia memiliki rasio 61,9 persen, Filipina 62 persen, Thailand 62,8 persen, India 84,3 persen, dan Argentina mencapai 116,7 persen.
“Vietnam itu kira-kira setara dengan kita, 37,2 (persen) … Ini sebagai satu komparasi untuk melihat level utang di map utang dari negara-negara. Kita punya portofolio. Portofolio kita, itu kita kelola dengan baik,” tuturnya.
Suminto menambahkan bahwa peningkatan nominal utang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya, utang pemerintah masih dapat ditopang oleh peningkatan PDB dan penerimaan negara.
“Utang akan dibiayai oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan menyebabkan kita mendapatkan penerimaan negara yang lebih tinggi juga, kemampuan membayar kita juga akan lebih tinggi,” bebernya selepas acara.
Ia juga menjelaskan bahwa komposisi utang pemerintah saat ini didominasi oleh mata uang rupiah.
“Saat ini, sekitar 71 persen-72 persen dari total utang kita dalam rupiah. Sementara, dalam valuta asing hanya sekitar 28 persen-29 persen. Ini merupakan komposisi mata uang yang baik sehingga kita dapat mengelola risiko pergerakan kurs dengan baik. Tidak terlalu terekspos risiko-risiko kurs,” tandas Suminto.


