INDORAYA — Ledakan pembangunan di kawasan wisata alam Jawa Tengah mulai menuai kekhawatiran dari banyak kalangan. Dari pegunungan Dieng hingga pantai-pantai di Karimunjawa, ekspansi hotel, kafe, dan villa terus meningkat tanpa diimbangi tata kelola lingkungan yang matang.
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko, mengingatkan bahwa fenomena “overdevelopment” atau pembangunan berlebihan di kawasan wisata berpotensi merusak daya dukung alam serta identitas sosial masyarakat setempat.
“Wisata alam tidak bisa dikelola dengan logika kota. Kalau semua dibangun jadi beton, yang kita jual ke depan hanya kenangan, bukan keindahan,” ungkapnya.
Data Dinas Pariwisata Jawa Tengah mencatat, hingga September 2025 jumlah kunjungan wisata mencapai 12,5 juta wisatawan domestik dan 150 ribu wisatawan mancanegara, meningkat 8% dari tahun sebelumnya. Namun, peningkatan tersebut justru diiringi lonjakan izin pembangunan fasilitas komersial di kawasan konservasi dan pegunungan.
Di Dieng, misalnya, perluasan lahan parkir dan pembangunan penginapan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian hingga 70 hektare sepanjang dua tahun terakhir.

Heri menilai, tren pembangunan yang tidak terkendali ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab ekologis.
“Pemerintah daerah sering tergoda pada investasi jangka pendek tanpa perhitungan lingkungan. Padahal, kalau alam rusak, pariwisata akan kehilangan nilai jualnya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa revisi tata ruang daerah harus segera dilakukan agar tidak ada tumpang tindih antara zona konservasi dan zona komersial.
Menurut Heri, salah satu penyebab utama overdevelopment adalah lemahnya koordinasi antara dinas pariwisata, lingkungan hidup, dan pemerintah kabupaten/kota.
“Banyak proyek wisata yang berdiri dulu baru mengurus izin kemudian. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk pengabaian terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.
Selain kerusakan lingkungan, Heri juga menyoroti dampak sosial yang muncul akibat pembangunan wisata besar-besaran. Banyak warga lokal yang kehilangan akses ke lahan, air bersih, dan mata pencaharian tradisional.
“Ada ironi ketika masyarakat asli yang menjaga alam justru tersisih karena lahan mereka dikomersialisasi. Itu bentuk ketimpangan baru yang sering luput dari perhatian,” ucapnya.

Untuk itu, Heri mendorong agar setiap proyek wisata baru wajib melalui kajian lingkungan strategis (KLHS) dan melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap perencanaan.
“Keterlibatan warga bukan formalitas. Mereka harus jadi subjek utama, bukan sekadar penonton,” katanya.
Heri juga menyarankan Pemprov Jateng untuk mengembangkan model pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) sebagai solusi jangka panjang. Model ini, menurutnya, memungkinkan masyarakat menjadi pelaku utama ekonomi wisata tanpa mengorbankan kelestarian alam.
“Desa-desa wisata yang berhasil bukan karena investor besar, tapi karena kolaborasi dan rasa memiliki warganya,” ujar Heri, saat mencontohkan Desa Wisata Kandri di Semarang dan Sikunir di Wonosobo yang sukses menjaga keseimbangan alam dan ekonomi.
Ia berharap, momentum penerapan Perda Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan dapat dijadikan titik balik agar pembangunan wisata di Jawa Tengah tidak hanya mengejar angka kunjungan, tetapi juga menjaga warisan ekologis dan budaya.
“Kalau kita bicara pariwisata berkelanjutan, ukurannya bukan seberapa banyak hotel dibangun, tapi seberapa lama alam dan masyarakatnya bisa bertahan,” pungkasnya.