INDORAYA – Mengembang tanggung jawab sebagai guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) bukanlah pekerjaan mudah. Sebab yang dihadapi ialah anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki beragam hambatan.
Begitulah yang dirasakan Ambarwati Peminda Ratih, guru SLBN Semarang yang sudah 27 tahun mengajar anak-anak penyandang disabilitas, khususnya tuna rungu dan tuna grahita.
Sebelumnya, ia mengajar di SLB Swadaya Semarang sejak tahun 1995. Ambar, sapaan akrabnya, mendapatkan tugas membimbing siswa tuna rungu yang memiliki hambatan pendengaran.
Setelah itu, ia dipindahtugaskan di SLBN Semarang mulai tahun 2020. Di sana ia diberikan tanggung jawab mengajar anak-anak penyandang disabilitas tuna grahita atau keterbelakangan mental.
Perjuangan puluhan tahun mengajar di SLB membuatnya memiliki banyak cerita dan pengalaman. Kesabarannya pun diuji dengan berbagai tantangan yang ditemui di lapangan.
Perempuan berusia 67 tahun itu menceritakan, pada saat pertama kali menjadi guru di SLB Swadaya Semarang di tahun 1995, gaji pertama yang diterimanya yaitu senilai Rp 27 ribu.
Penghasilan tersebut tidaklah cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Apalagi saat itu ia sudah memiliki seorang anak yang masih balita.
“Dulunya anak saya masih kecil dan bayarannya segitu. Dari awal pertama kali gajinya Rp 27 ribu. Satu bulan segitu itu tahun 1995,” ujar Ambar saat ditemui Indoraya di SLB Semarang, Rabu (25/11/2022).
Namun ia menyiasatinya dengan mencari pekerjaan lainnya agar mendapat penghasilan tambahan. Dengan berbekal sertifikat merawat lansia, ia bisa menjadi asisten dokter.
“Tetapi saat itu saya punya ijazah merawat lansia, jadi kebetulan pagi ngajar SLB, sorenya ngerawat orang,” kata warga Kecamatan Tembalang tersebut.
Pekerjaan itu dilakukannya saat sore hari setelah mengajar. Gajinya pun empat kali lipat dari pekerjaan utamanya. Hasilnya juga cukup untuk membayar kos dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
“Saya ikut orang sebagai asisten dokter. Di sana saya membantu dokter yang membutuhkan tenaga saya. Penghasilannya lumayan lah Rp 125 ribu satu bulannya,” tuturnya.
Selain gaji yang tidak seberapa, menjadi guru SLB juga harus berjuang keras dalam mengenalkan anak-anak penyandang disabilitas dengan pengetahuan dasar seperti membaca dan menulis.
Kini ia mendapatkan tanggung jawab sebagai tenaga pendidik untuk siswa kelas 3 SD SLBN Semarang dengan hambatan keterbelakangan mental atau tuna grahita.
“Satu kelasnya ada 9 orang. Di sini campur, ada yang autis ada yang lambat belajar, mereka masih kecil-kecil,” ujar lulusan Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa di salah satu kampus swasta di Kota Surakarta itu.

Ia menuturkan, kendala terberat saat mengajar yaitu siswa yang sulit diatur dan susah mengikuti arahannya. Ia pun memaklumi hal itu lantaran kondisi siswa yang memiliki hambatan.
Ia bercerita, saat jam pelajaran siswa bergerak diluar kendali, ia sering terkena imbasnya. Ambar bahkan sering mendapat pukulan dari siswa dengan gangguang perkembangan otak atau autisme.
“Sering dipukul saya, tapi saya tangkis semua. Pernah ditarik bet namanya, kerudung juga sering digeret (ditarik). Anaknya kan ada gangguan sarafnya, ya jadi dia tidak merasa itu salah,” tuturnya.
Namun saat itu terjadi, Ambar sudah bisa menanganinya sendiri. Cukup berbicara dengan nada yang tinggi tanpa harus marah, siswa akan terdiam dan kembali fokus belajar.
“Kalau bicara keras ‘ayo semua diam’ duduk dengan nada keras itu anak-anak langsung duduk. Kalau mau mukul terus tak bilang ‘gak boleh, gak boleh’ terus diam. Kadang minta gendong, terus saya bilang ‘nulis dulu’,” terangnya.
Ia mengatakan bahwa agar dapat menciptakan kedekatan dengan siswa, ia selalu mendampinginya bahkan saat jam istirahat. Hal tersebut juga untuk memantau anak-anak agar tetap berada dalam keadaan aman.
“Anak-anak kalau keluar gak diawasin ya resiko. Kita ngawasin dari jam 7 sampai 11, harus mendampingi istirahatnya di dalam kelas, bisa makan di sini makan bareng-bareng juga,” kata Ambar.
Dengan memiliki kebersamaan di kelas, para siswa sesama penyandang disabilitas dapat semakin dekat. Bahkan mereka sudah bisa berbagi kepada sesama.
“Saya melihat mereka makan-makan dengan temannya yang lain. Saya ajarin berbagi, dan kadang mereka ngasih roti, ngasih permen ke saya,” katanya.
Saat melihat pemandangan tersebut, hatinya pun bergetar. Betapa senangnya Ambar ketika anak-anak didiknya memiliki kepedulian sosial seperti berbagi.
Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari perannya sebaga pendidik. Kesabaran dan keikhlasan dalam mendidik bisa berpengaruh terhadap perubahan karakter siswa secara perlahan-lahan.
Ambar pun berpesan kepada para guru di SLB untuk tetap semangat memberikan bimbingan kepada para siswa berkebutuhan khusus. Supaya mereka juga dapat berkembang layaknya anak-anak normal lainnya.


