INDORAYA – Di tengah gangguan bencana dan hama, produktivitas pertanian di Jawa Tengah (Jateng) tetap menunjukkan hasil positif. Hingga saat ini, sektor pertanian Jateng mampu memproduksi sebanyak 11,36 juta ton gabah.
Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) memastikan produksi pangan di provinsi ini tetap aman sepanjang 2025 meski di sejumlah wilayah mengalami banjir hingga lonsor.
Kepala Distanbun Jateng, Defransisco Dasilva Tavares menyebut, tingkat kehilangan produksi akibat dampak perubahan iklim (DPI) maupun organisme pengganggu tumbuhan (OPT) berada di kisaran maksimal 2 persen dari total produksi.
“Kita selalu memantau dua hal, yaitu dampak perubahan iklim dan organisme pengganggu tumbuhan. Dari hasil pemantauan itu, total produksi yang menjadi puso atau gagal panen hanya sekitar 2 persen dari total produksi,” ujarnya usai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025 di Hotel Gumaya Semarang, Jumat (28/11/2025) malam.
Menurutnya, angka tersebut masih tergolong aman dan tidak mengganggu capaian produksi tahun ini. Sampai 2025, Jawa Tengah telah mencatat 11,36 juta ton gabah kering panen (GKP). Dengan kehilangan di bawah 2 persen, provinsi ini tetap berada pada kondisi surplus.
Berdasarkan data Distanbun Jateng, wilayah Pantura menjadi daerah yang paling rawan terdampak ketika curah hujan tinggi karena merupakan langganan banjir. Hal ini diperparah oleh kondisi lingkungan serta degradasi lahan yang memicu sedimentasi sungai.
“Kondisi lingkungan di daerah transisi mengalami degradasi lahan sehingga menyumbang sedimentasi di sungai-sungai. Ini membuat aliran air ke bawah terhambat,” jelas Defransisco.
Meski begitu, kata dia, tahun 2025 relatif tidak ada bencana besar yang berdampak signifikan.
“So far maksimal kehilangan tetap di kisaran 2 persen, baik akibat banjir maupun serangan OPT,” tambahnya.
Tantangan terbesar ke depan tetap berasal dari faktor iklim. Frans mencontohkan fenomena kemarau basah tahun ini yang tidak terprediksi, di mana ketersediaan air melimpah sepanjang tahun. Kondisi tersebut dapat berbalik menjadi musim kering panjang pada tahun berikutnya.
“Oleh karena itu kami menyiapkan langkah antisipasi, mulai dari memaksimalkan lahan, menjaga jaringan irigasi, hingga memastikan sumber air tersedia untuk area pertanaman,” tandasnya.


