INDORAYA – Meski pemerintah telah melarang masuknya pakaian bekas impor atau barang thrifting ke Indonesia, para pelaku usaha tetap berupaya mencari peluang untuk berjualan, salah satunya melalui partisipasi dalam berbagai pameran.
Hal itu tampak dalam acara Semarang Thrift Day yang digelar di Sentraland Mall Semarang pada 28 November hingga 7 Desember 2025.
Walaupun ada aturan pembatasan, minat masyarakat Kota Semarang terhadap barang thrifting tetap sangat tinggi. Berdasarkan pengamatan Indoraya.News pada Selasa (2/12/2025) malam, pengunjung memenuhi stan-stan penjual, mulai dari sepatu, pakaian, hingga topi.
Apalagi, Semarang Thrift Day yang telah rutin berlangsung sejak 2021 selalu menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu, terutama oleh penyuka barang preloved.
“Antusiasnya bagus sih, ya pasang surut, kadang naik kadang turun. Alhamdulillah masih bisa buat makan,” tutur salah satu penjual thrift, Celvin Sukma, saat ditemui Indoraya.News.
Celvin juga merespons pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai penegasan larangan pakaian bekas impor serta rencana memperketat peredarannya. Menurutnya, ia dan para penjual lain mulai merasakan dampaknya, terutama terkait ketersediaan pemasok dan stok barang.
“Jelas sangat berpengaruh dalam segi mencari barang. Apalagi buat belanja, buat restock,” katanya.
Sulitnya mendapatkan produk berkualitas membuat biaya produksi meningkat. “HPP-nya jadi lebih naik lagi,” ujarnya.
Penjualan Turun Hingga 15 Persen
Dari sisi pendapatan, Celvin menyebutkan bahwa penjualannya menurun sekitar 10–15 persen.
“Menurun ya 10–15 persen, itu kalau hitung-hitungan kasarnya kurang lebih segitu,” ungkapnya.
Kendati demikian, ia mengatakan masih ada waktu-waktu tertentu seperti masa gajian yang membuat pengunjung membludak dan transaksi ikut naik.
Terkait kebijakan pemerintah, Celvin berharap ada langkah yang lebih bijak. Ia menginginkan agar aktivitas thrifting tidak dihapus, tetapi diarahkan menjadi usaha legal melalui skema pajak sehingga tetap memberi ruang bagi para pelaku usaha sekaligus membantu pemasukan negara.
“Mungkin dilegalkan dengan pajak tetapi juga dibatasi jumlahnya. Soalnya thrifting sudah lama dan kebetulan sudah menghidupi para UMKM kecil,” tegasnya.
Celvin menambahkan banyak pelaku usaha bergantung pada bisnis thrift. Jika kegiatan ini dihentikan tanpa solusi, ribuan UMKM harus memulai dari awal lagi.
Pernyataan serupa diungkapkan Yohanes, pemilik toko Awawscnd di Kelurahan Kembangarum, Semarang Barat. Ia menilai alasan pelarangan thrifting demi melindungi UMKM lokal tidak sepenuhnya tepat.
“Dari tahun ke tahun selalu ada berita seperti ini. Kami pelaku thrift seperti dikambinghitamkan atas masalah negara yang tidak bisa membuka lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Ia menilai setiap usaha memiliki pangsa pasar masing-masing.
“Kurang relevan kalau thrift dihentikan dengan dalih melindungi UMKM lokal. Semua usaha punya market sendiri,” tutup Yohanes.


