INDORAYA – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Tengah (Jateng)
akhirnya membuka tabir penanganan kasus kerusuhan demo di berbagai daerah Jateng.
Dari 1.747 orang yang sempat diamankan sejak 29 Agustus Hingga 1 September 2025, 46 orang dipastikan terjerat hukum sebagai tersangka utama.
Adapun dari ribuan orang yang ditangkap tersebut, 687 merupakan orang dewasa, sedangkan 1.060 lainnya adalah anak-anak, sebagian besar di antaranya berstatus pelajar SMP dan SMA. Mereka juga merupakan warga dari Demak, Semarang, dan Kabupaten Semarang.
“Para pelaku terutama anak-anak ini menjadi keprihatinan kami, karena sebagian besar masih berstatus pelajar. Mereka dari Demak, Semarang, dan Ungaran,” ujar Dirreskrimum Polda Jateng, Kombes Pol. Dwi Subagio saat konferensi pers gelar perkara di Mapolda Jateng, Selasa (2/9/2025).
Selama periode tersebut, Dwi membeberkan sebanyak 17 laporan polisi yang masuk ke pihaknya. Untuk di Kota Semarang, yaitu ada dua kejadian.
Pertama, kejadian penyerangan Mapolda Jateng pada 29 dan 30 Agustus, kedua yaitu insiden perusakan fasilitas pemerintah, termasuk pembakaran mobil di kompleks kantor gubernur.
Dalam peristiwa tersebut, polisi akhirnya menetapkan tujuh nama sebagai tersangka. MRA (19), pemuda asal Demak, menjadi satu-satunya pelaku dewasa, sedangkan enam lainnya masih berstatus anak-anak. Sejumlah barang bukti, mulai dari batu, kayu, pakaian, hingga helm telah diamankan untuk memperkuat berkas perkara.
“Tersangka dewasa kami lakukan penahanan, sementara anak-anak tidak kami tahan namun sudah diberi peringatan keras kepada orang tuanya,” jelas Dwi.
Ketika ditanya pola mobilisasi massa, Dwi menyebut mereka banyak dipengaruhi ajakan melalui media sosial. Direktorat Siber Polda Jateng saat ini tengah menganalisis jejak digital dan mendalami kemungkinan adanya pihak yang mengoordinasi atau mengendalikan aksi.
“Yang jelas, ini bukan unjuk rasa, tetapi murni penyerangan dan perusakan fasilitas negara. Motif dan dugaan aliran dana masih dalam pendalaman,” tegasnya.
Atas perbuatannya, MRA dijerat dengan Pasal 212 dan/atau Pasal 214 KUHP tentang perlawanan terhadap pejabat negara yang sedang menjalankan tugas sah, dengan ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara.


