Judul: Koloni
Penulis: Ratih Kumala
Tahun Terbit: 2025
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Fiksi, Fantasi
Jumlah Halaman: 245 halaman
INDORAYA – Koloni adalah buku kedelapan karya Ratih Kumala yang terbit pada Agustus 2025 lalu. Buku ini tidak hanya memberikan pandangan tentang kehidupan dan tatanan yang teratur dalam koloni semut, tapi juga konflik-konflik yang menghancurkan seisi sarang ketika terdapat hal yang masuk di luar tatanan. Di samping itu, dalam buku ini, Ratih juga menyisipkan bagian-bagian yang mirip dengan apa yang beberapa waktu ini terjadi di tanah kita, Tanah Air.
Kisah ini bermula ketika seekor semut ratu muda, Darojak, ditemukan tak sadarkan diri di sarang koloni lain setelah sarangnya mengalami sebuah kiamat. Ditahanlah Darojak oleh para semut prajurit dan dipanggilkan seekor semut tua, Mak Momong.
Oleh Mak Momong, Darojak diangkat menjadi semut pengasuh di koloni itu dan merawat telur-telur yang dihasilkan oleh sang penguasa koloni, tidak lain tidak bukan, Sang Ratu—Ratu Gegana.
Walaupun status Darojak adalah semut pengasuh, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tugasnya sebagai semut ratu, melakukan kawin terbang dan bertelur, haruslah ditunaikan. Kondisi ini sederhana, tapi memicu konflik yang kompleks.
Ketika Darojak berhasil menunaikan tugasnya dan menjadi ratu semut, otomatis Ratu Gegana harus turun dan memberikan kekuasaannya pada ratu selanjutnya. Tapi hal semacam itu bukanlah gaya Sang Ratu, ia ingin tetap menjadi ratu, Ratu Gegana yang alfa di koloni tersebut.
Atas perebutan kekuasaan yang terjadi, menyebabkan adanya dua ratu dalam satu koloni. Dengan arti lain, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Keberadaan dua ratu ini cukup membuat seisi koloni berantakan dan tak terarah.
Bagaimana tidak, ada dua ratu yang harus dilayani oleh semut dayang, ada makanan-makanan yang harus dicari dengan ekstra oleh semut pekerja, dan ada ratusan telur semut yang harus dirawat oleh semut pengasuh yang jumlahnya tak seberapa.
Berkuasanya dua ratu telah membuat semut-semut di koloni mempertanyakan tatanan yang konon sempurna itu. Mereka penuh akan pertanyaan, hati untuk menentang, dan bahkan kaki-kaki untuk melawan.
Tapi itu tidak akan pernah terjadi, sebab Ratu Gegana tidak ada segan-segannya untuk menumpahkan darah siapapun yang melawan perintahnya—dan pertumpahan darah itu memang benar terjadi, banyak nyawa semut yang direnggut tak terhormat olehnya.
Ratih benar-benar menggunakan perspektifnya dengan baik dalam tulisan ini. Semut-semut itu, mereka memang kecil dan bahkan sering dianggap tidak ada. Tapi di dalam tanah sana, mereka terstruktur dan sistematis. Dan setiap dari mereka sudah memiliki perannya masing-masing: ada yang bekerja, ada yang berjaga, ada yang mengasuh, ada yang melayani, dan ada yang berkuasa.
Sebagaimana dalam salah satu video Ratih di Instagram-nya @gadiskretek, ia menyebutkan bahwa Koloni adalah novel yang sebenarnya memotret tatanan sosial pemerintahan di negeri ini, tapi menggunakan semut sebagai analoginya. Spesifiknya lagi, yaitu tentang perebutan kekuasaan.
Dalam dunia manusia, jabatan diberikan. Tapi dalam dunia semut, jabatan adalah takdir sejak mereka lahir. Pernyataan ini juga kuat dengan kalimat dari seekor semut jantan yang sedang berbincang dengan Darojak.
“Lahir sebagai semut adalah lahir dalam koloni yang pincang, tidak adil. Yang pekerja terus bekerja, yang prajurit bisa semena-mena, yang jantan harus menunggu yang tak pasti, yang menjadi ratu selamanya dilayani.” (halaman 49).
Saya juga menyukai bagaimana novel ini berbicara tentang nilai-nilai kehidupan, bahwa sejatinya kita sebagai manusia tidak boleh lupa untuk ‘hidup.’ Seperti, “…kematian paling sia-sia adalah mati tanpa berguna,” (halaman 62), “…betapa besar dan indahnya dunia ini jika sesekali kau mau keluar dan berpetualang,” (halaman 119), dan “…dicopotnya sayap satu per satu dari punggungnya, untuk mengurangi beban tubuhnya yang memberat,” (halaman 201).
Sebagai seseorang yang terus menerus dan tidak ada lelahnya memaknai hidup, kutipan-kutipan seperti ini selalu saya garis bawahi dan ingat sepanjang perjalanan saya. Bahwasanya jalan masih sangat panjang dan bekal perlu disiapkan agar kelak mudah ketika kesusahan-kesusahan itu menerjang.
Ratih telah menuliskan sebuah ending yang benar-benar tidak terlintas di pikiran saya pun pembaca lain. Tapi jika dipikir-pikir, sebenarnya ending seperti itu adalah ending yang sempurna. Sempurna untuk sebuah kisah yang berangkat dari kondisi negara ini, negara Indonesia.


