INDORAYA – Senjata Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan menunjukkan puncak otomatisasi dalam bidang militer, di mana mesin belajar dari data untuk mengambil keputusan penting.
Bayangkan drone mandiri yang mampu menentukan kapan dan siapa yang harus diserang tanpa intervensi manusia. Hal ini tampak efisien bagi perang masa kini, karena mengurangi bahaya bagi prajurit, namun risiko kesalahannya sangat menakutkan.
Algoritma AI bisa mempelajari dari data yang bias, misalnya jika dilatih dengan data pertempuran yang hanya melibatkan musuh spesifik, ia mungkin keliru mengenali warga sipil sebagai target ancaman.
Ini bukan sekadar dugaan. Contohnya, sistem seperti Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS) telah dikembangkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, China, dan Israel.
Pada tahun 2023, Pentagon melaporkan pengujian AI untuk penargetan otomatis, yang memicu kekhawatiran akan “perang kilat” di mana konflik bisa meningkat dalam sekejap mata tanpa pengawasan manusia.
Risiko yang lebih mendalam muncul jika teknologi ini jatuh ke tangan pihak yang salah, seperti kelompok teroris atau rezim otoriter, maka ini bukan lagi alat pertahanan—ini menjadi senjata pemusnah massal berbasis digital yang berpotensi memicu genosida berskala besar.
Bayangkan AI yang mengontrol rudal nuklir; satu kesalahan pemrograman atau manipulasi saja bisa menghancurkan sebuah kota. Dari segi etika, ini bertentangan dengan prinsip pertanggungjawaban manusia siapa yang harus bertanggung jawab atas kekeliruan mesin?
Kita memerlukan regulasi internasional yang lebih tegas, seperti yang diusulkan oleh PBB melalui Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), untuk menghentikan perlombaan pengembangan senjata AI yang tak terkendali.
Negara-negara sebaiknya berkomitmen pada moratorium pembuatan LAWS, sambil memprioritaskan AI defensif seperti sistem deteksi ancaman siber. Pendidikan etika AI di perguruan tinggi dan dunia industri juga sangat penting, agar para insinyur mempertimbangkan dampak sosial sebelum menulis kode.
Bom waktu data merupakan ancaman tersembunyi di era digital, di mana data bukanlah bom fisik, melainkan dirancang untuk “meledak” pada saat tertentu misalnya, malware yang aktif setelah masa tidur panjang atau algoritma AI yang memanipulasi informasi untuk menyebabkan kerugian besar.
Ini mirip bom waktu biologis, tetapi dalam bentuk byte dan bit. Di zaman big data, hal ini bisa meruntuhkan ekonomi, seperti serangan siber yang membocorkan rahasia perusahaan atau memicu krisis finansial.
Contoh konkret: Serangan ransomware WannaCry pada 2017, yang “beristirahat” selama berbulan-bulan sebelum meledak, menginfeksi 200.000 komputer di 150 negara dan menimbulkan kerugian triliunan rupiah.
Atau, bayangkan data kesehatan yang bocor secara bertahap melalui AI yang mempelajari pola kebocoran, memicu kepanikan kesehatan global seperti yang terjadi dengan data COVID-19 yang dimanipulasi untuk menyebarkan informasi palsu hingga puncaknya.
Risiko ini semakin besar karena data tidak terlihat dan dapat menyebar dengan cepat melalui jaringan dunia. AI memperparah situasi: Model deepfake bisa menghasilkan “bom waktu” informasi bohong, seperti video pemimpin dunia yang dipalsukan untuk memicu perang.
Dampaknya tidak hanya ekonomi ini bisa merusak demokrasi, seperti manipulasi pemilihan melalui data yang dicuri. Solusinya harus berlapis-lapis: Pendidikan digital bagi masyarakat agar waspada terhadap phishing dan manipulasi; audit data rutin oleh perusahaan dan pemerintah, dengan memanfaatkan AI sendiri untuk mendeteksi ketidaknormalan; serta undang-undang ketat untuk melindungi privasi, seperti GDPR di Eropa yang diperluas ke skala global. Teknologi seperti blockchain bisa membantu verifikasi data, mencegah “ledakan” yang tak terduga.
Pada dasarnya, baik senjata AI maupun bom waktu data adalah hasil dari kemajuan teknologi yang kita buat sendiri produk dari rasa ingin tahu manusia yang tak terbendung. Kita tidak mampu menghentikan inovasi, tetapi kita harus bijak mengendalikannya melalui regulasi, etika, dan kerja sama internasional.
Sebagai manusia, pilihan ada di tangan kita: manfaatkan AI untuk kebaikan, seperti melawan perubahan iklim atau penyakit, atau biarkan ia menjadi bom waktu yang menghancurkan masa depan.
Mari kita dorong diskusi global untuk etika AI yang kuat, sebelum terlambat. Setiap individu bisa memulai dari diri sendiri: Pelajari tentang AI, dukung gerakan anti-senjata otonom, dan jaga data pribadi Anda. Masa depan bergantung pada keputusan kita saat ini.


