INDORAYA — Di tengah capaian pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang relatif stabil, persoaln ketimpangan sosial dan kebijakan pangan masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Perbedaan kesejahteraan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, disertai tingginya tekanan harga kebutuhan pokok, menciptakan jurang sosial yang semakin terasa di tengah masyarakat.
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko, menegaskan bahwa dua hal tersebut—ketimpangan sosial dan tata kelola pangan—adalah “akar masalah” yang harus diselesaikan secara sistematis dan berkelanjutan, bukan sekadar respons sesaat.
“Kita tidak bisa terus menambal kebijakan dengan operasi pasar. Akar ketimpangan harus diselesaikan lewat penguatan struktur ekonomi rakyat, terutama di sektor pangan dan pertanian,” ujar Heri.
Data BPS Jawa Tengah menunjukkan, tingkat kemiskinan provinsi ini per Maret 2025 mencapai 9,48% atau sekitar 3,37 juta jiwa. Angka ini memang turun dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi gini ratio yang masih di angka 0,359 menunjukkan ketimpangan pengeluaran masih signifikan.
Wilayah seperti Brebes, Pati, dan Wonosobo menjadi contoh daerah dengan kesenjangan tinggi antara produsen dan konsumen pangan. Menurut Heri, ketimpangan tersebut juga muncul karena rantai pasok pangan yang panjang dan tidak efisien.
“Petani bekerja keras, tapi nilai tambahnya dinikmati di level tengkulak atau distribusi besar. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi masalah keadilan sosial,” tegasnya.
Ia menilai perlu ada reformasi kebijakan pangan daerah yang melibatkan koperasi, BUMDes, dan lembaga komunitas untuk memperpendek rantai distribusi.

Selain itu, Heri menyoroti pentingnya membangun sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berpihak pada petani kecil. Dalam pandangannya, pembangunan lumbung pangan desa, pemberian akses kredit mikro, serta penyediaan bibit unggul harus dibarengi dengan pendampingan dan jaminan harga jual.
“Kalau harga panen terus rendah, anak muda tidak akan mau jadi petani. Ini bukan sekadar soal pangan, tapi masa depan sosial desa,” katanya.
Kondisi inflasi pangan di Jawa Tengah turut memperburuk daya beli masyarakat. Berdasarkan data Bank Indonesia, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatat inflasi tahunan 4,41% per September 2025—lebih tinggi dari inflasi umum yang sebesar 2,65%.
Hal ini, menurut Heri, menandakan bahwa ketahanan pangan harus dipandang bukan hanya dari sisi produksi, tetapi juga dari aspek distribusi dan akses masyarakat.
Heri juga mengingatkan agar kebijakan pangan tidak hanya berorientasi pada stabilitas harga, melainkan juga memperhatikan keberlanjutan ekologi dan sosial.

“Kebijakan pangan tidak boleh mengorbankan lingkungan dan petani. Kita harus beralih ke sistem pangan yang adil, hijau, dan partisipatif,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana daerah-daerah seperti Temanggung dan Batang mulai mengembangkan model agroekologi berbasis komunitas yang lebih tahan terhadap fluktuasi pasar dan iklim.
Dari sisi sosial, Heri menilai bahwa ketimpangan juga muncul karena lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan—terutama perempuan, buruh tani, dan pekerja informal. Ia mendorong pemerintah provinsi memperkuat skema jaminan sosial dan pelatihan produktif bagi kelompok tersebut.
“Ketimpangan tidak hanya soal penghasilan, tapi juga soal akses terhadap pendidikan, air bersih, dan layanan dasar,” imbuhnya.
Menutup keterangannya, Heri menegaskan bahwa pembangunan ekonomi Jawa Tengah ke depan harus menempatkan keadilan sosial sebagai prinsip utama.
“Kita tidak bisa bicara bonus demografi kalau sebagian besar rakyatnya masih kesulitan membeli bahan pokok. Pangan dan keadilan sosial adalah fondasi peradaban. Jika akar masalah ini beres, stabilitas sosial dan ekonomi akan ikut menguat,” pungkasnya.