INDORAYA — Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang mendorong masyarakat semakin individualistis, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Heri Pudyatmoko mengajak generasi muda untuk kembali menanamkan semangat gotong royong sebagai nilai dasar kehidupan sosial dan politik.
Menurut Heri, kemajuan teknologi dan ekonomi seharusnya tidak menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan. Justru di era disrupsi, gotong royong harus dimaknai ulang—bukan sekadar tradisi lama, tetapi bahasa perlawanan terhadap sikap acuh dan egoisme sosial yang kian meluas.
“Kita tidak sedang kekurangan kecerdasan digital, tapi kekurangan kepedulian sosial. Gotong royong itu bukan hanya kerja bakti atau slogan lama, tapi kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian,” katanya.
Ia menilai, fenomena meningkatnya individualisme di kalangan muda sering muncul dalam bentuk “keterasingan digital,” di mana seseorang tampak aktif di dunia maya, namun kehilangan empati dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, gotong royong bisa menjadi alat penyembuh sosial (social healing) dan memperkuat solidaritas lintas kelompok.
“Pemuda hari ini hidup di era yang penuh tantangan identitas. Gotong royong bisa menjadi bahasa yang menyatukan, bukan sekadar antara desa dan kota, tapi antara generasi dan lapisan sosial,” jelasnya.

Heri juga menegaskan bahwa gotong royong bukan hanya soal aksi sosial, tetapi juga cara berpikir kolektif dalam menyelesaikan persoalan publik. Misalnya, dalam konteks pembangunan desa, pendidikan, dan penanganan bencana, semangat kolaboratif terbukti lebih efektif dibanding pendekatan individual.
“Pemerintah bisa membuat program, tapi tanpa partisipasi masyarakat, semua hanya berhenti di atas kertas. Gotong royong itu energi rakyat. Kalau pemuda memulai, perubahan akan mengalir ke seluruh lapisan,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa individualisme yang ekstrem bisa melemahkan rasa kebangsaan dan menumbuhkan apatisme terhadap isu-isu publik.
Karena itu, ia mendorong agar sekolah, komunitas pemuda, hingga lembaga sosial mulai menghidupkan kembali ruang dialog dan kerja bersama.
“Kita butuh generasi yang tidak hanya cerdas berpikir, tapi juga mau turun tangan. Menjadi manusia sosial adalah puncak dari pendidikan. Gotong royong itu bukan masa lalu, itu masa depan Indonesia,” pungkasnya. [Adv]


