INDORAYA – Anggota DPD RI Dapil Jawa Tengah, Muhdi, memberikan sejumlah masukan terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan menjadi sorotan publik karena maraknya kasus dugaan keracunan di berbagai daerah.
Muhdi menilai, evaluasi paling mendesak dalam program MBG adalah desentralisasi sistem dapur penyedia makanan.
Menurut dia, dapur MBG tidak harus berskala besar dan terpusat, melainkan dapat dibagi menjadi unit-unit lebih kecil agar kebersihan serta keamanan pangan lebih terjamin di setiap wilayah.
“Evaluasi yang pertama ya didesentralisasikan, diperkecil. Daerah-daerah tertentu jangan dipaksakan sampai 3.000 porsi. Kalau di kota mungkin masih bisa, tapi kalau di daerah pinggiran itu terlalu berat,” ujarnya saat ditemui Indoraya.news di Kampus UPGRIS, Minggu (5/10/2025).
Lebih lanjut, Muhdi mengusulkan agar yayasan atau lembaga pendidikan swasta juga diberi ruang untuk mengelola program MBG secara mandiri.
Dengan begitu, dana Rp15 ribu per siswa per hari dapat dimanfaatkan lebih efisien, di mana sekitar Rp12.500 dialokasikan untuk bahan pangan dan sisanya untuk biaya operasional.
“Pola ini akan lebih cocok diterapkan di sekolah kecil atau daerah terpencil yang jumlah siswanya sedikit. Makanannya bisa lebih segar, dan pengawasan gizinya pun lebih mudah,” kata Ketua PGRI Jateng tersebut.
Terkait pelibatan guru dalam uji kelayakan makanan MBG, Muhdi menyoroti praktik mencicipi makanan oleh guru penanggung jawab yang mendapat insentif Rp100 ribu per hari.
Ia menegaskan bahwa para guru sebenarnya tidak memiliki jatah makanan dan kerap kebingungan menentukan makanan mana yang harus dicicipi.
“Kalau mau nyicipi, pertama apakah harus jadi penanggung jawab dulu? Terus, apa ada makanan yang memang disiapkan untuk dicicipi? Jangan malah mencicipi jatah anak-anak, itu kan enggak baik,” tegasnya.
Muhdi menambahkan, uji rasa sebaiknya dilakukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) sebelum makanan didistribusikan ke sekolah. Namun demikian, ia juga mengingatkan bahwa mencicipi satu sampel bukan berarti menjamin ribuan porsi lain pasti layak konsumsi.
“Yang harus nyicipi itu kalau perlu BGN. Tapi ya, nyicipi satu itu bukan berarti 1.000 porsi lainnya juga aman. Kan enggak mungkin dicicipi semua,” imbuhnya.
Lebih jauh, Muhdi menekankan pentingnya pengawasan ketat di tingkat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), serta perlunya sekolah mendapatkan anggaran khusus untuk mendukung proses distribusi MBG.
“Sekolah, dinas pendidikan, dan dinas kesehatan harus dilibatkan. Sekolah perlu punya komunikasi langsung dengan dapur agar bisa memantau, mengecek, bahkan memberi laporan jika ada kendala. Jangan malah dilarang melapor. Ini soal tanggung jawab bersama,” pungkasnya.