INDORAYA – Buntut dari seorang bocah yang membakar SMPN 2 Pringsurat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) ini membuat sejumlah pihak ikut merespon. Mulai dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kepolisian Daerah (Polda) Jateng.
Selain KPAI dan Polda Jateng, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Agustin Handayani ikut angkat bicara soal kasus tersebut.
Menurutnya, kasus ini tidak 100 persen salah dari seorang siswa yang terlibat kasus pembakaran sekolahan itu. Melainkan, peran sekolah khususnya pendidik juga dinilai sangat penting.
Pasalnya, kata dia, seorang pendidik atau guru seharusnya melindungi siswa atau memberikan pemahaman kepada anak-anaknya dalam menunjang kebahagiaannya.
Jika hal itu dilakukan, Agustin menyakin peristiwa perundungan enggak akan terjadi.
“Jika saya melihat, diduga pendidik masih ada yang menganggap hal lumrah soal kasus bullying. Jadi peran pendidik kemana? Padahal pendidik itu harus asih, asah, dan asuh perlu diingat. Karena, setiap anak memliki karakteristik masing-masing. Meski hal ini tidak semua pendidik menganggap seperti itu,” ujar Agustin saat dihubungi Indoraya, Minggu (9/7/2023).
Karakteristik yang dimaksud itu yakni misalnya memiliki sifat yang unik. Sehingga, guru atau pendidik tidak bisa menyamakan satu siswa dengan siswa lainnya.
“Di sini kita harus perhatikan, kenapa anak itu seperti ini karena sebenarnya seseorang yang di bullying itu kecenderungannya merasa tidak berharga biasanya begitu. Yang mem-bully biasanya merasa supperior atau merasa lebih daripada yang dibully,” ucapnya.
Di tambah anak yang mendapatkan bullying enggan berani bicara dengan pendidik atau ketika bicara hanya mendapatkan respon yang bukan ciri khasnya guru yakni asah, asih, dan asuh.
Padahal, lanjut Agustin, siapa pun orangnya itu sebagai makhluk hidup secara universal yakni kebutuhannya ingin dihargai dan dihormati.
“Mungkin, siswa ini enggak mendapatkan (dihargai dan dihormati). Entah dalam bentuk penghargaan yang kecil. Misalnya diapresiasi apa. Mungkin juga menurut bahasa saya, kepribadian siswa ini mudah baper,” katanya.
Hal itulah seorang pendidik yang harus memahami pembelajaran di era zaman sekarang. Dan tidak menyamakan pembelajaran pada zaman yang semasa seorang pendidik itu menjadi siswa.
“Tentunya tidak melepaskan prinsip-prinsip moral, agama, dan etika. Saya menyorotnya lebih ke pembelajarannya saja sih, tidak bisa saklek kaya dulu lagi,” tuntasnya.


