INDORAYA – Status tersangka yang kini disandang Chiko Radyatama Agung Putra atas dugaan pembuatan serta penyebaran video tidak pantas berbasis kecerdasan buatan (AI), dengan korban siswa, guru, hingga alumni SMAN 11 Semarang, tidak hanya membuatnya menjalani proses hukum kepolisian.
Ia juga berpotensi menerima sanksi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, tempatnya menempuh pendidikan.
Sanksi kampus mulai diproses setelah Undip melakukan verifikasi sejak laporan pertama diterima. Dalam tahapan tersebut, tim memanggil sejumlah saksi dari berbagai fakultas serta saksi eksternal yang dianggap relevan, sebelum akhirnya meminta klarifikasi langsung dari Chiko.
Informasi ini disampaikan oleh Wakil Rektor I Undip, Prof. Heru Susanto, saat ditemui oleh media pada Jumat (14/11/2025).
Heru menuturkan bahwa perkara ini tidak lagi sekadar persoalan etika, melainkan telah masuk ke kategori dugaan kekerasan. Dengan regulasi terbaru, kekerasan seksual juga termasuk dalam definisi kekerasan di lingkungan kampus, sehingga penanganannya langsung berada di bawah kewenangan Satgas Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi.
Ia menekankan bahwa proses penanganan di kampus berjalan terpisah dari proses pidana. Status tersangka tidak otomatis memengaruhi putusan etik, meskipun hasil akhir dari pengadilan nantinya tetap dapat menjadi dasar evaluasi terhadap sanksi kampus.
Menurut Heru, proses pemeriksaan Satgas sudah selesai, dan Undip telah menyusun keputusan rektor terkait sanksi. Namun karena keputusan tersebut belum disampaikan kepada Chiko, kampus belum dapat mengungkapkan isi putusan kepada publik.
“Kami sebenarnya sudah selesai, tetapi memang kami belum bisa share,” ujar Heru.
Ia menambahkan bahwa keputusan rektor baru dianggap final setelah disampaikan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Setelah menerima keputusan, Chiko berhak mengajukan keberatan langsung kepada Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek.
“Ketika kami memberikan sanksi, kami serahkan langsung kepada yang bersangkutan, dan ia memiliki waktu untuk keberatan. Keberatannya tidak ke kami, tetapi ke Sekjen Kementerian,” tuturnya.
Heru juga menjelaskan gambaran sanksi yang diusulkan oleh Satgas, meskipun keputusan akhir belum ditetapkan. Usulan tersebut mencakup skorsing dua semester, larangan menerima beasiswa, serta larangan menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan.
“Sekurang-kurangnya kemarin kami usulkan skorsing dua semester, plus tidak boleh menerima beasiswa, plus tidak boleh menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan,” kata Heru.
Ia menambahkan bahwa sebagian tindakan yang dilaporkan justru dilakukan saat Chiko belum menjadi mahasiswa Undip. Hal ini menjadi pertimbangan kampus dalam menetapkan sanksi yang berorientasi pada aspek pembinaan.
“Case yang dilakukan itu sebenarnya banyak terjadi sebelum ia menjadi mahasiswa Undip. Itu juga harus kami pertimbangkan,” ucapnya.
Sanksi Undip Berpotensi Dikoreksi Jika Proses Pidana Berlanjut
Heru menjelaskan bahwa Undip membuka kemungkinan penyesuaian sanksi etik apabila proses hukum pidana menunjukkan adanya pelanggaran yang lebih berat. Dalam kondisi tertentu, putusan pengadilan yang memenuhi ketentuan dapat membuat mahasiswa dikeluarkan.
“Jika satu kasus berproses di pidana, sanksi yang kami berikan dapat dikoreksi sesuai pelanggaran pidana yang dilakukan. Contoh, ketika seseorang terancam hukuman pidana sekurang-kurangnya lima tahun, itu bisa dikeluarkan. Tapi itu harus P21,” jelas Heru.
Ia menegaskan bahwa Undip menjalankan prosedur sesuai ketentuan, mulai dari penanganan dugaan kekerasan, pemberian sanksi etik, hingga membuka ruang koreksi jika putusan pidana telah berkekuatan hukum tetap.
“Prosedur sudah kami jalankan, dan sanksi yang kami berikan pun bisa dikoreksi manakala nanti pidananya berjalan,” pungkasnya.


