Indoraya NewsIndoraya NewsIndoraya News
Notification Show More
Font ResizerAa
  • BERITA
    • HUKUM KRIMINAL
    • PENDIDIKAN
    • EKONOMI
    • KESEHATAN
    • PARLEMEN
  • NASIONAL
  • PERISTIWA
  • POLITIK
  • JATENG
    • DAERAH
  • SEMARANG
  • RAGAM
    • GAYA HIDUP
    • TEKNOLOGI
    • OLAHRAGA
    • HIBURAN
    • OTOMOTIF
  • OPINI
  • KIRIM TULISAN
Cari
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KODE ETIK JURNALISTIK
  • STANDAR PERLINDUNGAN WARTAWAN
  • TENTANG KAMI
  • DISCLAIMER
Copyright © 2023 - Indoraya News
Reading: Polemik Tambang Nikel Raja Ampat
Font ResizerAa
Indoraya NewsIndoraya News
  • BERITA
  • NASIONAL
  • PERISTIWA
  • POLITIK
  • JATENG
  • SEMARANG
  • RAGAM
  • OPINI
  • KIRIM TULISAN
Cari
  • BERITA
    • HUKUM KRIMINAL
    • PENDIDIKAN
    • EKONOMI
    • KESEHATAN
    • PARLEMEN
  • NASIONAL
  • PERISTIWA
  • POLITIK
  • JATENG
    • DAERAH
  • SEMARANG
  • RAGAM
    • GAYA HIDUP
    • TEKNOLOGI
    • OLAHRAGA
    • HIBURAN
    • OTOMOTIF
  • OPINI
  • KIRIM TULISAN
Have an existing account? Sign In
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KODE ETIK JURNALISTIK
  • STANDAR PERLINDUNGAN WARTAWAN
  • TENTANG KAMI
  • DISCLAIMER
(c) 2024 Indo Raya News
Opini

Polemik Tambang Nikel Raja Ampat

Dilema antara pertumbuhan ekonomi dan ancaman kerusakan lingkungan dan budaya adat.

By Day Milovich
Rabu, 18 Jun 2025
459 Views
Share
9 Min Read
(Foto: Kompas/Yohana Artha Uly)
SHARE

Raja Ampat, Papua Barat Daya, dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terindah di dunia, dengan status UNESCO Global Geopark sejak 2023. Kawasan ini menyimpan 75% spesies terumbu karang global, lebih dari 1.600 spesies ikan, dan keanekaragaman hayati darat seperti Palem Raja Ampat. Pariwisata menyumbang pendapatan signifikan, mencapai lebih dari Rp150 miliar per tahun, jauh melebihi kontribusi tambang nikel yang hanya sekitar Rp50 miliar. Namun, aktivitas tambang nikel, yang dimulai sejak 1998, kini mengancam ekosistem, pariwisata, dan kehidupan masyarakat adat di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawei, dan Manuran. Polemik ini mencerminkan konflik antara hilirisasi nikel untuk mendukung industri baterai kendaraan listrik dan pelestarian lingkungan serta budaya lokal.

Tujuan dan Argumen Pro Tambang

Pihak pro tambang, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan perusahaan seperti PT Gag Nikel, menyoroti manfaat ekonomi dan strategis nasional. Nikel dianggap krusial untuk hilirisasi industri, mendukung transisi energi global melalui produksi baterai. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Tri Winarno, dalam kunjungan ke Pulau Gag, menyatakan, “Kita lihat dari atas tadi bahwa sedimentasi di areal pesisir juga tidak ada. Jadi overall, sebetulnya tambang itu enggak ada masalah” (Kompas.id, 7/6/2025). PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Antam Tbk, mengklaim operasinya berkelanjutan, dengan reklamasi lahan pasca-tambang dan pengolahan limbah sesuai standar. Perusahaan ini memiliki Kontrak Karya seluas 13.136 hektar hingga 2047, mencakup hutan lindung dan perairan, serta dokumen seperti AMDAL dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Bupati Raja Ampat Orideko Burdam menyampaikan bahwa sebagian masyarakat Pulau Gag mendukung tambang karena lapangan kerja dan pendapatan, dengan beberapa tokoh adat menandatangani persetujuan (Kompas.com, 10/6/2025). Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga menegaskan bahwa lokasi tambang jauh dari destinasi wisata utama seperti Piaynemo, berjarak 30–40 kilometer, sehingga dianggap tidak mengganggu pariwisata (Kompas.id, 6/6/2025).

Contents
Tujuan dan Argumen Pro TambangRisiko Lingkungan dan EkologiDampak pada PariwisataDampak Sosial dan Masyarakat AdatProtes dan SanggahanKonsekuensi Jangka Panjang bagi Publik

Risiko Lingkungan dan Ekologi

Aktivitas tambang nikel menimbulkan ancaman serius terhadap ekosistem Raja Ampat. Greenpeace Indonesia melaporkan deforestasi lebih dari 500 hektar di Pulau Gag, Kawei, dan Manuran, dengan 300 hektar di Pulau Gag saja (Kompas.id, 9/6/2025). Sedimentasi akibat pembukaan lahan mengalir ke laut, menutupi terumbu karang dan menghambat fotosintesis, yang dapat memicu kematian karang. Peneliti BRIN Andes Hamuraby Rozak memperingatkan, “Rusaknya tutupan lahan akan mempengaruhi kualitas air tanah,” dengan dampak jangka panjang terasa dalam 10–20 tahun (Kompas.com, 10/6/2025). Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menemukan pelanggaran serius oleh empat perusahaan—PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa—termasuk jebolnya kolam pengendapan limbah di Pulau Manuran, menyebabkan kekeruhan laut (BBC News Indonesia, 11/6/2025). Analisis citra satelit Greenpeace pada 2024 menunjukkan gumpalan kekeruhan di perairan Manuran pasca-hujan, mengindikasikan pencemaran limbah. Profesor Yusthinus T Male dari Universitas Pattimura menyoroti risiko “butterfly effect,” di mana polutan seperti logam berat menyebar melalui arus laut, mengancam rantai makanan dan sumber protein masyarakat (Kompas.id, 9/6/2025). UU Nomor 1 Tahun 2014 melarang tambang di pulau kecil seperti Gag (6.030 hektar), menegaskan bahwa aktivitas ini bertentangan dengan perlindungan ekologi.

Dampak pada Pariwisata

Pariwisata, sebagai tulang punggung ekonomi Raja Ampat, terancam oleh tambang nikel. Rusmiati dari Greenpeace Indonesia menyatakan, “Aktivitas pertambangan ini bertentangan langsung dengan prinsip pariwisata berkelanjutan dan menimbulkan pertanyaan serius terhadap legitimasi retribusi konservasi yang dibebankan kepada wisatawan” (Kompas.id, 10/6/2025). Kerusakan terumbu karang dan kekeruhan laut dapat menghancurkan citra Raja Ampat sebagai destinasi selam kelas dunia, yang menarik wisatawan global dan menyumbang lebih dari 60% daya tarik pariwisata Indonesia (Kompas.id, 8/6/2025). Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia Pauline Suharno menegaskan bahwa tambang dan pariwisata tidak dapat berjalan bersama, karena “tambang selalu merusak lingkungan, sedangkan pariwisata membutuhkan ekosistem yang sehat” (Kompas.id, 10/6/2025). Penurunan kunjungan wisatawan akan berdampak langsung pada pendapatan masyarakat lokal, yang mayoritas bergantung pada sektor ini, dibandingkan manfaat jangka pendek dari tambang.

Dampak Sosial dan Masyarakat Adat

Tambang nikel memicu konflik sosial dan mengancam ruang hidup masyarakat adat. Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyatakan, “Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang menghidupi kami, tetapi juga mengubah kehidupan masyarakat yang harmonis menjadi berkonflik” (Greenpeace Indonesia, 3/6/2025). Paulina, perempuan adat Raja Ampat, mengungkapkan, “Hutan kami hilang, laut kami rusak, dan masyarakat kami kini saling bermusuhan” (BBC News Indonesia, 11/6/2025). Proses Free Prior and Informed Consent (FPIC) untuk melibatkan masyarakat adat tidak berjalan baik, dengan izin tambang diterbitkan tanpa konsultasi memadai (mongabay.co.id, 8/6/2025). Uno Klawen, pemuda adat, menuduh Menteri ESDM Bahlil menipu publik dengan mengklaim hanya PT Gag Nikel yang aktif, padahal empat perusahaan lain beroperasi (kalteng.disway.id, 8/6/2025). AMAN Sorong Malamoi menilai pemerintah mengabaikan hak-hak adat, dengan Torianus Kalami menyebut tambang sebagai “fenomena gunung es” yang mencerminkan investasi yang tidak transparan dan merugikan masyarakat (mongabay.co.id, 8/6/2025).

Protes dan Sanggahan

Penolakan terhadap tambang nikel meluas, melibatkan aktivis, masyarakat adat, pelaku pariwisata, hingga tokoh agama. Pada 3 Juni 2025, Greenpeace dan empat anak muda Papua menggelar aksi damai di Indonesia Critical Minerals Conference di Jakarta, membentangkan spanduk bertuliskan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” (Kompas.id, 9/6/2025). Petisi #SaveRajaAmpat di Change.org mengumpulkan 58.000 tanda tangan hingga 9 Juni 2025, didukung tokoh seperti Susi Pudjiastuti, yang menyerukan penghentian tambang kepada Presiden Prabowo (kalteng.disway.id, 8/6/2025). Uskup Timika Bernardus Bofitwos Baru menyayangkan 2.000 hektar hutan dibabat untuk “kepentingan oligarki” (Kompas.id, 10/6/2025). Sanggahan terhadap argumen pro tambang menyoroti kurangnya data ilmiah. Yusthinus T Male menyebut klaim Kementerian ESDM bahwa Pulau Gag tidak tercemar sebagai “prematur” (Kompas.id, 9/6/2025). Greenpeace menegaskan bahwa penghentian sementara PT Gag Nikel adalah “akal-akalan” untuk meredam protes, karena izin empat perusahaan lain tetap aktif hingga 10 Juni 2025, ketika akhirnya dicabut (BBC News Indonesia, 5/6/2025). Pelanggaran prosedur perizinan, seperti IPPKH PT Gag Nikel yang diterbitkan tanpa konsultasi publik, juga menjadi sorotan (mongabay.co.id, 8/6/2025).

Konsekuensi Jangka Panjang bagi Publik

Dampak jangka panjang tambang nikel di Raja Ampat sangat signifikan. Ekologis, kerusakan terumbu karang dan biodiversitas laut mengancam warisan global yang sulit dipulihkan. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengakui, “Pemulihannya tidaklah terlalu gampang karena tidak ada lagi bahan untuk memulihkan” (BBC News Indonesia, 11/6/2025). Sosial, konflik antarwarga dan hilangnya ruang hidup adat memutus kearifan lokal, mengancam identitas budaya. Ekonomi, kehancuran pariwisata akan merugikan masyarakat lokal, sementara cadangan nikel diperkirakan habis dalam 14–30 tahun, meninggalkan kerusakan permanen. Azril Azhari dari Asosiasi Cendekiawan Pariwisata Indonesia memperingatkan, “Pendekatan yang hanya berfokus pada ekonomi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan sistem ekologi, hanya akan berujung kehancuran” (Kompas.id, 10/6/2025). Pencabutan izin empat perusahaan pada 10 Juni 2025 adalah langkah maju, tetapi keberlanjutan PT Gag Nikel menunjukkan kompromi yang belum menyelesaikan akar masalah.

Dilema tambang nikel di Raja Ampat menempatkan Indonesia pada persimpangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Argumen pro tambang menawarkan manfaat strategis, tetapi risiko lingkungan, sosial, dan ekonomi jangka panjang jauh lebih besar. Protes yang digaungkan masyarakat adat, aktivis, dan pelaku pariwisata, didukung data ilmiah, menegaskan bahwa Raja Ampat harus dilindungi sebagai kawasan konservasi, bukan zona ekstraktif. Publik menuntut transparansi, penegakan hukum, dan komitmen nyata untuk pariwisata berkelanjutan, demi menjaga “surga terakhir di Bumi” untuk generasi mendatang.

Masalah tambang nikel di Raja Ampat menjadi berita hangat dan perbincangan di media sosial. [dm]

TAGGED:Bahlil Lahadaliaberita headlinekonflik tambang raja ampatpertumbuhan ekonomi nasionaltambang nikel raja ampat
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp
ByDay Milovich
Follow:
Penulis, artworker, webmaster tinggal di Rembang dan Semarang.

Terbaru

  • Trans Semarang Resmi Gunakan Bus Listrik, Akhiri Era “Cumi-Cumi Darat” Rabu, 05 Nov 2025
  • Rapat Dewan Pengupahan Jateng: Buruh Dorong UMP 2026 Naik Hingga 10,5 Persen Rabu, 05 Nov 2025
  • Polisi Telusuri Kasus AI Cabul Chiko, 11 Saksi Sudah Diperiksa Rabu, 05 Nov 2025
  • Empat Tersangka Penipuan Lolos Akpol 2025 Dibekuk, Warga Pekalongan Rugi Rp2,65 Miliar Rabu, 05 Nov 2025
  • UIN Walisongo Bantah Isu River Tubing, Sebut Mahasiswa Terseret Arus Saat Bermain Air Rabu, 05 Nov 2025
  • Basarnas Temukan Lima Korban Mahasiswa UIN Walisongo, Satu Masih Dalam Pencarian Rabu, 05 Nov 2025
  • KKP Tangkap 1.149 Kapal Pencuri Ikan, Potensi Kerugian Negara Capai Rp 16 Triliun Rabu, 05 Nov 2025

Berita Lainnya

Jateng

Hari Santri Nasional, Wakil Ketua DPRD Jateng Ajak Santri Perkuat Peran Membangun Peradaban Dunia

Rabu, 22 Okt 2025
Jateng

BPK Jateng Ungkap Rp96 Miliar Dana Belanja Bermasalah di Daerah

Selasa, 21 Okt 2025
Jateng

Pemprov Jateng Bangun 6 Instalasi Desalinasi, Warga Pesisir Nikmati Air Bersih Harga Murah

Senin, 20 Okt 2025
JatengKesehatan

Heri Pudyatmoko: Turunnya Angka Kematian Ibu Jadi Indikator Utama Kesejahteraan Masyarakat

Senin, 20 Okt 2025
Indoraya NewsIndoraya News
Follow US
Copyright (c) 2025 Indoraya News
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KODE ETIK JURNALISTIK
  • STANDAR PERLINDUNGAN WARTAWAN
  • TENTANG KAMI
  • DISCLAIMER
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?