INDORAYA – Kebijakan baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait penggunaan seragam sekolah untuk siswa jenjang SD, SMP, dan SMA menuai pro dan kontra.
Salah aturan dalam Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 yang mendapat sorotan dan menjadi perbincangan publik yaitu penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah bagi peserta didik.
Sebagian masyarakat setuju lantaran peraturan tersebut dinilai dapat menanamkan jiwa nasionalisme bagi peserta didik, sesuai tujuan utama dari ditetapkannya kebijakan ini.
Sebagian lain tidak sepakat karena jika diberlakukan nantinya akan memberatkan keluarga kurang mampu lantaran harus membelinya. Belum lagi penggunaannya dinilai ribet dan belum tentu mencapai tujuan nasionalisme.
Menanggapi hal ini, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Muhdi meminta masyarakat untuk tidak memperdebatkan hal tersebut. Menurutnya, pro dan kontra terjadi karena ada ketidaksamaan pemahaman.
Pertama, yang menjadi catatan ialah bahwa penggunaan pakaian adat di sekolah diberlakukan hanya pada peringatan hari-hari besar maupun acara tertentu saja. Sifatnya insidental dan penggunaannya tidaklah rutin, bukan seperti yang dipahami masyarakat selama ini.
Apalagi dalam Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022, khususnya pada Pasal 10 sudah jelas disebutkan bahwa pakaian adat digunakan peserta didik pada hari atau acara adat tertentu.
Menurut Muhdi, inilah yang perlu dicermati oleh masyarakat, termasuk instansi pendidikan. Padahal, dalam praktiknya penggunaan pakaian adat sudah dilakukan bahkan sebelum peraturan itu ditetapkan, satu contohnya pada peringatan Hari Kartini.
“Kalau dibaca cermat ternyata tidak berarti pakaian adat itu dipakai setiap waktu seperti seragam lain. Pemakaiannya hanya pada hari-hari adat atau tertentu saja. Tidak setiap hari, setiap minggu, setiap bulan,” katanya saat ditemui di Kantor PGRI Jateng, Kamis (20/10/2022).
Mantan Rekotor Universitas PGRI Semarang itu berpendapat bahwa jika ditetapkan setiap minggu atau menjadi jadwal rutin, tentunya penggunaan pakaian adat akan memberatkan banyak pihak.
“Tidak masalah karena itu insidental. Kalau setiap minggu nanti pasti akan memeberatkan banyak pihak. Belum tentu juga pakaian adat itu mencapai tujuan membangun nasionalisme,” sambungnya.
Lebih lanjut, jika memang kebijakan itu mulai diterapkan, Muhdi mengimbau kepada lembaga pendidikan untuk tidak menjadikannya sebagai jadwal rutinan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. .
“Catatannya juga jangan sampai sekolah mengada-ada lalu menetapkan seminggu sekali atau sebulan sekali itu justru yang memberatkan. Saya ga setuju kalau itu,” ungkapnya.
Di samping itu, ia mengingatkan bahwa dalam pelaksanaannya, kebijakan ini juga jangan sampai kontra produktif. Misalnya menyulitkan para orang tua siswa, khususnya golongan kurang mampu.
Jika banyak orang tua siswa yang merasa keberatan karena harus membeli pakaian adat, Muhdi meminta sekolah untuk tidak perlu mewajibkan siswanya mengenakan pakaian adat.
“Sekolah gak mengharuskan, tapi dikira orang tuanya begitu (wajib menggunakan pakaian adat: red), lalu orang tuanya geger duluan,” lanjutnya.
Dalam penerapannya juga jangan sampai menyulitkan pergerakan peserta didik dalam melakukan pembelajaran serta jangan berlebihan dalam memodifikasi pakaian yang justru nantinya malah akan mengurangi nilai kekhasan suatu daerah.
Untuk menghindari kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat terkait kebijakan ini, ia meminta pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta instansi pendidikan terkait lainnya untuk menyosialisasikannya.
“Tidak ada hal yang perlu diperdebatkan, justru itu disosialisasikan. Jangan sampai ada salah paham. Setiap kebijakan itu harus disosialisasikan dengan baik, sukses atau tidak itu nanti,” pungkas Muhdi.


