Di tengah hiruk-pikuk ekosistem media sosial, di mana perhatian adalah mata uang utama, sebuah tren aneh telah memikat hati Generasi Alpha—anak-anak kelahiran 2010 hingga 2025.
Dikenal sebagai “konten anomali” atau “Italian Brainrot,” fenomena yang meledak di platform seperti TikTok dan Instagram Reels pada awal 2025 ini menampilkan karakter-karakter buatan kecerdasan buatan (AI) seperti Ballerina Cappuccina (penari balet berkepala cangkir kopi) dan Tung Tung Sahur (kentongan hidup).
Video-video pendek ini, yang kerap dinarasikan dengan aksen pseudo-Italia melalui teknologi text-to-speech, menghadirkan ledakan dopamin yang memukau penonton muda. Namun, di balik pesonanya, muncul pertanyaan serius: apa implikasi tren ini bagi perkembangan kognitif anak?
Anatomi Konten Anomali
Konten anomali adalah produk era internet berbasis AI, di mana algoritma menghasilkan video pendek berdurasi 15 hingga 60 detik yang menampilkan makhluk hibrida seperti Bombardiro Crocodilo (buaya dengan tubuh pesawat tempur) atau Tralalero Tralala (hiu berkaki tiga mengenakan sepatu merek ternama).
Narasinya sengaja dibuat tak masuk akal, dirancang untuk memicu tawa melalui keanehan semata. Format ini mengandalkan kecepatan dan kelebihan stimulasi, dengan visual mencolok dan suara yang mengagetkan untuk menarik perhatian seketika.
Bagi anak-anak, konten ini ibarat permen digital. Kecepatannya yang tinggi dan kurangnya struktur logis selaras dengan rentang perhatian yang terpecah akibat kebiasaan menjelajah media sosial. Berbeda dengan media tradisional yang menuntut pemahaman naratif, video anomali tidak memerlukan usaha mental berat.
Konten ini menawarkan kepuasan instan, menjadi pelarian dari tuntutan kognitif seperti tugas sekolah atau bahkan gangguan digital lainnya. Namun, kemudahan ini justru membawa risiko.
Daya Tarik bagi Generasi Alpha
Ada beberapa alasan mengapa konten anomali begitu memikat anak-anak. Pertama, video-video ini memicu lonjakan dopamin, bahan kimia otak yang memberikan rasa senang, melalui gambar-gambar tak terduga dan baru. Bagi anak-anak yang terbiasa dengan ritme cepat media sosial, sensasi ini adiktif.
Kedua, humor absurd dan tidak konvensional—yang sering kali terlepas dari logika—selaras dengan selera Generasi Alpha, yang tumbuh di tengah meme dan tantangan viral. Ketiga, sifatnya yang tidak menuntut usaha intelektual menjadikannya pelarian mudah bagi otak yang lelah akibat multitasking digital.
Namun, justru aksesibilitas ini yang mengkhawatirkan para ahli. Generasi Alpha, sebagai kelompok pertama yang tumbuh sepenuhnya di era smartphone dan AI, sangat rentan terhadap efek jangka panjang konten semacam ini.
Otak mereka, yang masih membentuk koneksi untuk berpikir kritis dan mengatur emosi, berada pada titik kritis di mana kebiasaan digital dapat memengaruhi perkembangan kognitif selama puluhan tahun.
Risiko bagi Perkembangan Kognitif
Paparan berlebihan terhadap konten anomali dapat mengganggu perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Anak-anak di bawah usia sepuluh tahun belum sepenuhnya mampu membedakan fakta dan fiksi; karakter seperti Ballerina Cappuccina—produk imajinasi AI—dapat mengacaukan pemahaman mereka tentang dunia nyata, membuat mereka sulit memahami sebab-akibat.
Narasi tanpa logika juga dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, karena anak terbiasa menerima informasi tanpa menganalisisnya, sebagaimana diungkapkan Ikma Hanifah Restisari, pegiat parenting.
Selain itu, format video yang cepat melatih otak untuk mencari stimulasi instan, mengganggu perkembangan korteks prefrontal yang mengatur fokus dan perencanaan, sehingga anak kesulitan berkonsentrasi pada tugas yang memerlukan ketelitian, seperti membaca atau memecahkan masalah.
Beberapa konten bahkan memadukan kekerasan dengan humor—misalnya, karakter yang memukul dengan ekspresi ceria diiringi musik riang—yang dapat membingungkan pemahaman anak tentang moralitas dan empati, berpotensi menormalkan agresi atau memicu kecemasan dan gangguan tidur.
Istilah brain rot, yang merujuk pada penurunan fungsi mental akibat konsumsi konten digital dangkal, menjadi perhatian serius; penelitian dalam Brain Sciences (2025) menyebutkan bahwa paparan berulang dapat menyebabkan gangguan memori, desensitisasi emosional, dan kelelahan mental.
Menyeimbangkan Dunia Digital
Melarang konten anomali sepenuhnya bukanlah solusi yang realistis, karena justru dapat memicu rasa penasaran anak. Sebaliknya, orang tua perlu mengambil pendekatan yang seimbang. Membatasi waktu layar hingga satu atau dua jam per hari dapat mencegah overstimulation, sementara menonton bersama anak memungkinkan orang tua menjelaskan bahwa karakter seperti Tung Tung Sahur adalah fiksi semata.
Aktivitas seperti teka-teki, mendongeng, atau permainan strategi dapat memperkuat kemampuan berpikir kritis dan fokus. Mengajarkan kerangka moral melalui permainan peran juga penting untuk memastikan anak tidak salah menafsirkan humor sebagai perilaku yang dapat diterima. Orang tua juga harus mewaspadai tanda-tanda kecanduan, seperti anak yang mengulang frasa absurd atau menunjukkan kesulitan fokus, dan segera berkonsultasi dengan psikolog jika diperlukan.
Pemerintah juga memiliki peran. Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia telah berjanji untuk memperketat pengawasan konten digital berdasarkan peraturan tentang tata kelola sistem elektronik dan perlindungan anak. Namun, pengawasan saja tidak cukup.
Pemerintah perlu mendorong penciptaan konten edukatif yang menarik sebagai alternatif. Kreator konten, bersama pendidik, dapat memanfaatkan daya tarik karakter absurd untuk menyampaikan pesan positif, seperti kampanye literasi atau nilai-nilai sosial.
Menavigasi Batas Digital
Kenaikan pamor konten anomali, dari Ballerina Cappuccina hingga Tung Tung Sahur, mencerminkan sifat ganda inovasi digital: menghibur, namun berpotensi berbahaya. Bagi Generasi Alpha, video-video ini adalah sumber kegembiraan, tetapi juga ladang ranjau kognitif. Tantangannya adalah memanfaatkan potensi kreatif internet sambil melindungi otak muda dari efek buruknya.
Dengan pendampingan orang tua yang bijak, regulasi yang tegas, dan konten berkualitas, masyarakat dapat memastikan anak-anak tidak hanya terhibur, tetapi juga tumbuh menjadi individu yang tangguh secara intelektual dan emosional. Alternatifnya—generasi yang tenggelam dalam absurditas digital—adalah risiko yang terlalu besar untuk diabaikan.


