INDORAYA — Setelah euforia pesta demokrasi usai dan pemerintahan baru mulai terbentuk, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko mengingatkan bahwa pekerjaan rumah bangsa belum selesai. Ia menegaskan, demokrasi Indonesia akan kehilangan arah bila tidak ditopang oleh etika publik yang luhur dan semangat pengabdian kepada rakyat.
“Pemilu sudah usai, tapi demokrasi sejati baru dimulai ketika kita semua mampu menjaga nilai moral dalam setiap keputusan dan tindakan publik,” katanya.
Menurutnya, transisi pemerintahan harus dijadikan momentum untuk memperkuat karakter etis dalam politik, birokrasi, dan masyarakat. Heri menilai, kontestasi elektoral sering kali meninggalkan luka sosial akibat polarisasi dan ujaran kebencian, yang bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial.
“Demokrasi bukan cuma soal menang atau kalah, tapi bagaimana kita semua kembali bersatu dan bekerja untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.
Heri menggarisbawahi bahwa etika publik adalah fondasi dari kepercayaan warga terhadap institusi negara. Tanpa itu, setiap kebijakan, sebaik apa pun, akan sulit diterima masyarakat.
Ia pun mengajak para pejabat publik dan elite politik untuk tidak larut dalam euforia kekuasaan, melainkan menata ulang komitmen moral mereka.
“Kita butuh pemimpin yang bukan hanya pintar membuat kebijakan, tapi juga tahu batas moralnya. Demokrasi tanpa integritas hanya akan jadi panggung sandiwara,” ujarnya.
Dalam konteks lokal, Heri menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil dalam menjaga keadaban publik pasca-pemilu. Ia mengingatkan bahwa semangat gotong royong harus kembali menjadi roh politik Jawa Tengah.
“Kita tidak boleh biarkan masyarakat terpecah karena pilihan politik. Setelah pemilu, yang harus hidup kembali adalah semangat kolektif dan tanggung jawab sosial,” tambahnya.
Heri juga menekankan peran pendidikan politik dan etika publik di kalangan anak muda, terutama di era media sosial yang sarat disinformasi. Ia menyebut perlunya “literasi moral” agar generasi muda tidak sekadar aktif secara digital, tetapi juga sadar nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
“Anak muda harus berani kritis, tapi juga tahu etika berdialog. Kritik tanpa adab bisa menghancurkan jembatan demokrasi,” katanya.
Ia menilai pemerintahan baru harus memperkuat sistem partisipasi publik yang transparan dan berkeadilan. Demokrasi, menurutnya, tidak cukup dengan pemilu lima tahunan, tetapi harus dihidupkan setiap hari melalui budaya mendengar dan melayani.
“Jangan sampai demokrasi hanya berhenti di bilik suara. Ia harus hidup dalam cara kita bernegara dan bermasyarakat,” tuturnya.
Terakhir, Heri mengajak seluruh elemen bangsa untuk menata kembali kehidupan publik dengan nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab.
“Kita boleh berbeda warna politik, tapi merah putih kita satu. Demokrasi hanya akan kuat kalau etika publik menjadi napas bersama,” pungkasnya.