INDORAYA – Nama Ahmad Khaeruddin tentunya sudah familiar di telinga pegiat seni dan budaya di Kota Semarang. Pasalnya lelaki yang akrab disapa Adin Hysteria tersebut memiliki kontribusi penting dalam perkembangan kebudayaan ibu kota provinsi Jawa Tengah.
Kesukaannya terhadap dunia kesenian dimulai sejak kecil dan terus berlanjut hingga masa mahasiswa. Sewaktu menimba ilmu di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro pada 2004, ia menggeluti berbagai bidang keterampilan, mulai dari seni musik, teater, sastra, jurnalistik, dan lainnya.
Pada tahun 2007, ia membentuk Kolektif Hysteria, sebuah organisasi seni yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas. Hysteria awalnya merupakan nama buletin sastra yang diterbitkan Adin bersama kawannya.
Hysteria terus tumbuh dan berkembang secara progresif. Berbagai kegiatan dilakukan untuk menunjang minat berkesenian mahasiswa, mulai dari diskusi seni, pembacaan puisi, pemutaran film, konser musik dan pementasan teater sederhana.
Bagi Adin, Hysteria merupakan laboratorium yang menjadi pusat aktivitas dikembangkannya beragam potensi generasi muda. Komunitas tersebut berfokus mengajak masyarakat untuk lebih mengapresiasi kesenian.
“Collaboratorium and creative impact hub maksudnya Hysteria ini menjadi pusat titik berkumpulnya kreativitas yang nantinya akan disebarkan pada masyarakat,” jelasnya saat ditemui di Jalan Stonen 29, Bendan Ngisor, Semarang, Kamis (27/10/2022).
Pria 37 tahun tersebut juga pernah mengikuti berbagai program residensi di sejumlah negara seperti Jerman, Filipina, Selandia Baru, Jepang, dan Inggris yang mempengaruhi kerja-kerja kebudayaan yang dirintisnya di Semarang.
Selanjutnya pada tahun 2012 ia menginisiasi platform Pekakota yang berfokus pada kepedulian pada partisipasi warga dalam proses perencanaan dan pembentukan kota.
Kesuksesannya dalam membangun jejaring kampung di kota menjadi pemantik bagi Pemkot Semarang menginisiasi program Kampung Tematik. Dimulai sejak mengaktivasi Kampung Bustaman dan terakhir Kelurahan Randusari
“Kami merefleksi bahwa keberadaan kami di Semarang itu konteksnya apa? Yang datang pada kota, yang terjadi pada kota, akan kembali pada kota, itu kepercayaan kami. Jadi kami memilih memberikan kontribusi pada masyarakat,” imbuh Adin.
Ia memulainya dengan melakukan riset etnografi dengan catatan tentang pengetahuan keseharian dan budaya pada wilayah tertentu. Bahkan Adin juga terjun langsung dan tinggal bersama dengan masyarakat untuk mengetahui tradisi di daerah tersebut.
Lalu terbersitlah ide membuat festival ataupun gelaran untuk mendukung kebudayaan di Semarang. Festival ini ditujukan untuk mengalihwahanakan pengetahuan berbentuk karya ilmiah menjadi mudah dipahami masyarakat.
“Festival adalah salah satu cara kami mengubah knowledge yang tidak hanya teks. Karena semua orang sukar membaca apalagi karya ilmiah. Jadi kita coba menjadikan hal-hal yang tidak pernah mereka jamah sebelumnya kita ubah menjadi hal lain seperti festival, pagelaran kesenian, pameran, karya foto, video, dan sebagainya,” bebernya.
Hingga sekarang pria asal Rembang tersebut masih aktif menggaungkan kesenian, utamanya pada generasi muda. Puluhan kampung telah didatangi. Di sana Hysteria terus membuat program yang tujuannya melestarikan tradisi lokal.
“Goalnya adalah menciptakan kota yang mampu memenuhi kebutuhan semua orang serta bagaimana mendorong warganya untuk ikut aktif terlibat dari perencanaan, proses, hingga pembentukan kota ini,” ungkapnya.
Di Semarang, Adin bersama teman-temannya di Hysteria berhasil menginisiasi bercaman tradisi lokal. Misalnya Festival Jati Wayang, Festival Gebyuran Bustaman, dan Grebeg Subali.
“Kampung-kampung di Semarang ini dulunya nggak ada festival. Jadi kita meng-create, membuat kampung yang berada di Kota Semarang ini mempunyai tradisi, kita bikin tradisinya dan kita lestarikan bersama,” pungkas Adin.