INDORAYA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mengungkapkan bahwa sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki struktur turunan usaha yang sangat kompleks, bahkan hingga mencapai tujuh lapis.
Managing Director Holding Operasional Danantara, Agus Dwi Handaya, menjelaskan bahwa saat ini terdapat 1.045 BUMN, di mana 50 perusahaan di antaranya memiliki 338 anak usaha.
Dari jumlah tersebut, kemudian muncul 585 cucu perusahaan, 193 cicit, serta 36 piut perusahaan, diikuti 3 canggah, 2 wareng, dan 2 udheg-udheg perusahaan di level ketujuh.
Agus menggunakan istilah silsilah keluarga Jawa untuk menggambarkan banyaknya lapisan tersebut. Dalam tradisi Jawa, anak berarti keturunan pertama, cucu keturunan kedua, cicit keturunan ketiga, piut keturunan keempat, canggah keturunan kelima, wareng keturunan keenam, dan udheg-udheg keturunan ketujuh.
“Ada tujuh layer (lapis). Saya setelah bekerja di Danantara baru paham sebutan layer itu. Dulunya, saya cuma paham kalau dari cucu-cicit (perusahaan),” ujar Agus di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, Sleman, DIY, Selasa (11/11/2025).
Melihat kondisi tersebut, Danantara tengah berupaya melakukan restrukturisasi atau perampingan jumlah BUMN yang mencapai ribuan menjadi hanya sekitar 200 perusahaan. Langkah ini termasuk dalam pilar transformasi BUMN, yaitu transformasi bisnis melalui konsolidasi, redefinisi, serta pembangunan operational excellence.
“Dari yang seribu (BUMN) tadi, yang tujuh layer tadi, itu akan di-streamline menjadi mungkin sekitar 200 BUMN,” jelas Agus.
Agus menilai, struktur perusahaan yang terlalu berlapis menimbulkan banyak kasus mismanajemen, terutama karena rantai pengelolaan yang panjang. Ia mencontohkan, ada investasi pabrik bernilai puluhan triliun yang dilakukan tanpa perencanaan matang, sehingga menimbulkan ketidakefisienan dalam proses produksi.
“Tentunya dengan layering yang begitu banyak, mengakibatkan pengelolaan operasional yang tidak efisien dan tidak kompetitif. Terjadi tumpang tindih dan kompetisi sesama BUMN, bahkan sesama BUMN dalam satu induk,” kata Agus.
Ia menambahkan, kelemahan dalam manajemen proyek juga menyebabkan cost overrun dan keterlambatan proyek. Selain itu, portofolio bisnis yang terlalu beragam di luar inti usaha (core business) menjadikan banyak BUMN tidak mampu bersaing secara optimal.
“Project management yang lemah mengakibatkan cost overrun atau project tertunda. Portofolio bisnis yang beragam di luar daripada core-nya sehingga tidak mampu bersaing secara kompetitif,” tambahnya.
Lebih lanjut, Agus menyoroti struktur subsidi harga di beberapa BUMN, seperti sektor pupuk, yang meski dimaksudkan untuk memberikan insentif, justru menimbulkan inefisiensi.
“Mismatch financing. Banyak sekali proyek-proyek investasi jangka panjang, tapi pembiayaannya berasal dari jangka pendek. Proses restrukturisasi dilakukan secara parsial, tidak menuntaskan,” kata Agus.


