INDORAYA – Hingga akhir Februari 2022, utang pemerintah RI tempus hingga Rp 7.000 triliun. Meski begitu, menurut pemerintah utang tersebut masih dalam batas aman dan wajar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan menyebut, rasio utang terhadap PDB RI masih lebih kecil baik dibandingkan dengan negara ASEAN, G20, maupun negara di seluruh dunia.
“Untuk menjaga dari kesehatan APBN, rasio utang (Indonesia) termasuk relatif rendah diukur dari negara ASEAN, G20, dan seluruh dunia,” ucap Sri Mulyani dalam tayangan Youtube Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Jumat (15/4/2022).
Meski begitu, bendahara negara ini tetap mewaspadai lonjakan utang Indonesia. Gagal bayarnya Sri Lanka pun menjadi sorotan Sri Mulyani. Asal tahu saja, Sri Lanka mengumumkan bakal gagal membayar utang luar negeri 51 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 732 triliun (kurs Rp 14.371).
Gagal bayar diumumkan sebagai langkah terakhir setelah Sri Lanka kehabisan devisa untuk mengimpor barang pokok yang dibutuhkan masyarakat.
“Ini tetap kita jaga secara sangat hati-hati dan secara prudent. Kami lihat tekanan seluruh dunia ke negara-negara akan meningkat, seperti saah satu negara yaitu Sri Lanka, kami akan liat sisi bagaimana menjaga (porsi utang),” beber Sri Mulyani.
Wanita yang akrab disapa Ani ini mengaku akan terus mengelola utang secara prudent. Dia akan menghitung/mengkalkulasi jumlah, tenor, dan komposisi mata uang dari penarikan utang lewat penerbitan obligasi pemerintah.
Beberapa langkah pengelolaan utang secara prudent pun sudah disiapkan, baik untuk tahun ini dan tahun depan. Langkah ini disiapkan untuk mencapai target konsolidasi fiskal menekan defisit di bawah 3 persen pada 2023.
Di tahun 2022, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini lebih dulu mengoptimalisasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun 2021 alih-alih menarik utang baru.
Selain itu, memanfaatkan skema kerja sama berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia (BI). Skema tanggung renteng itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III yang masih berlanjut hingga tahun 2022.
Sampai Februari 2022, BI telah membeli surat utang pemerintah Rp 8,76 triliun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) I, dengan rincian pembelian SUN Rp 6,06 triliun dan SBSN Rp 2,70 triliun.
Lewat skema-skema tersebut, penarikan utang pemerintah sudah susut sekitar Rp 100 triliun pada Maret 2022 dari target semula.
“Kami akan mengurangi issuance (penerbitan) utang dengan penggunaan SAL. Sampai Maret penurunan (penerbitan utang) Rp 100 triliun,” jelasnya.
Sebelumnya, penarikan utang juga sudah turun 66,1 persen pada Februari 2022. Realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang di bulan itu sebesar Rp 92,9 triliun atau 9,5 persen dari target APBN Rp 973,6 triliun.
Pembiayaan menyusut dari Rp 273,8 triliun di Februari tahun 2021.
Secara lebih rinci, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto hingga Februari 2022 sebesar Rp 67,7 triliun atau 6,8 persen dari target Rp 991,3 triliun.
Penerbitannya -75,1 persen dari Rp 271,4 triliun di Februari 2021. Lalu, pinjaman neto mencapai Rp 25,2 triliun atau tumbuh 954,4 persen. Menyusutnya pembiayaan utang berdampak positif kepada posisi imbal hasil (yield) di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.(FZ)