INDORAYA – Hingga saat ini tidak banyak masyarakat yang tahu tentang Cornelia de Lange Syndrome, atau yang biasa disebut dengan CdLS. Ini merupakan gangguan kesehatan langka yang menyerang anak-anak sejak dalam kandungan ibunya.
CdLS adalah satu jenis kelangkaan yang ada di dunia dengan prevalensi sebesar 1:30.000 kelahiran bayi di sebuah populasi. Artinya, kemungkinan bayi lahir dengan CdLS sebanyak 1 bayi di antara 30.000 bayi lahir.
CdLS diketemukan pertama kali oleh Dokter Winfried Brachmann pada tahun 1916 kemudian penelitian ini diteruskan bersama dengan Dokter Cornelia Catharina de Lange pada tahun 1933. Bayi CdLS disebabkan oleh mutasi genetika saat pembuahan, bukan karena virus maupun bakteri dan tidak menular.
Gangguan langka ini menyerang anak sejak dalam kandungan. Anak yang terkena dapat mengalami keterlambatan perkembangan fisik, baik sebelum maupun setelah lahir. Selain itu juga akan memiliki fitur wajah yang khas, malformasi ekstremitas, serta gangguan intelektual.
Founder Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia Koko Prabu menuturkan, setidaknya ada 22 jenis gangguan pada anak-anak dengan CdLS. Dari fisik misalnya, tubuh berambut tebal/berbulu, alis mata tebal dan menyatu, cuping hidung mendongak, kepala kecil (microcephalus).
“Bagian atas telinga lebih rendah dari garis mata (menunjukkan kecerdasan di bawah rata-rata). Selain itu kaki dan tangan tidak sempurna dengan jumlah jari yang tidak lengkap dan bagian tangan dan jari tidak lengkap,” ujarnya kepada Indoraya, Senin (20/3/2023).
Selain itu, organ tubuh dalam juga mengalami gangguan. Misalnya sistem pencernaan sejak mulut hingga lambung terganggu. Langit-langit tinggi dan terbelah menyebabkan bayi kesulitan menelan dan mencerna ASI atau susu yang diterima sejak lahir. Organ seperti paru-paru dan jantung juga mengalami gangguan.
Koko Prabu melanjutkan, penyandang CdLS juga menerima dampak berupa mudahnya anak-anak itu mengalami pneumonia dan gagal jantung. Pada saat dewasa, anak-anak akan menderita gangguan mental yang tidak dapat dihindari, seperti menyakiti diri sendiri.
“Anak-anak dengan CdLS akan sangat tergantung pada alat-alat medis, obat-obatan, popok sekali pakai dan bantuan orang lain sepanjang hidupnya,” ungkapnya dalam konferensi pers “Mengenal dan Peduli CdLS” di Gedung Thomas Aquinas Soegijapranata Catholic University (SCU), Senin (20/3/2023).
Kepedulian Yayasan Sindrom Cornelia untuk CdLS
Founder Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia Koko Prabu mengatakan bahwa pihaknya menaruh perhatian terhadap anak-anak penyandang CdLS. Komitmen ini muncul sebagai bentuk kepedulian terhadap penderita CdLS agar dapat hidup layak dan lebih lama.
Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia diprakarsai oleh Koko Prabu, salah satu orang tua anak dengan CdLS berusia 23 tahun. Yayasan ini berkantor pusat di Semarang dan membantu semua anak CdLS di Indonesia yang saat ini terdeteksi sebanyak lebih dari 160 orang.
“Jumlah yang sedikit disebabkan berbagai kemungkinan. Jumlah dokter dan paramedis yang paham tentang CdLS belum banyak sehingga kemungkinan salah diagnosa dan salah penanganan sangat mungkin terjadi,” katanya.
Sebagai orang tua dari anak yang mengalami gangguan CdLS, para orang tua seringkali merasa kebingungan dengan kondisi anak yang terlahir berbeda. Hal ini membuat mereka merasa sendiri tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
“Dan Yayasan memberi dukungan dan konsultasi kepada para orangtua dalam menghadapi permasalah sehari-hari. Selain itu, Yayasan juga mencarikan bantuan alat-alat medis dasar seperti nebulizer dan juga mencarikan donator untuk susu dan popok sekali pakai untuk anak-anak,” imbuhnya.
Menurutnya, anak-anak yang menderita CdLS membutuhkan uluran tangan dan dukungan dari semua pihak maupun intitusi. Termasuk pula pemerintah dan civitas akademik di tengah-tengah kondisi kesehatan dan sulitnya kehidupan yang mereka jalani.
“Keberadaan anak-anak kami CdLS ini adalah anugerah bagi dunia kesehatan, pendidikan dan penelitian Indonesia, demi meningkatkan kualitas hidup generasi yang akan datang,” ungkap Koko Prabu.
“Kami berharap dengan kita bergandengan tangan sejak awal ini bisa menjadi gerakan dan upaya pencegahan bayi lahir dengan kelainan langka CdLS, serta memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi kepada penyintasnya,” pungkasnya.