INDORAYA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) akan segera merancang regulasi khusus untuk menghapus praktik diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan di Indonesia.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK) Kemnaker, Darmawansyah, menuturkan bahwa ada dua langkah utama yang akan dilakukan pihaknya.
Langkah pertama adalah merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Darmawansyah menyampaikan bahwa saat ini Kemnaker tengah melakukan kajian awal untuk menyusun rancangan undang-undang baru yang menggantikan regulasi tersebut.
“Saat ini Kemnaker sedang melakukan kajian untuk menyusun rancangan undang-undang pengganti UU Nomor 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan),” ujar Darmawansyah dilansir CNNIndonesia.com, Selasa (13/5/2025).
Ia mengaku belum dapat memaparkan secara rinci terkait poin-poin revisi, karena seluruhnya masih dalam tahap pembahasan internal. Meski demikian, ia memastikan seluruh proses akan melibatkan berbagai pihak terkait, mulai dari asosiasi pengusaha hingga serikat pekerja.
Langkah kedua, Kemnaker akan menyusun aturan turunan sebagai pelengkap dari undang-undang baru tersebut.
“Payung hukumnya nanti ada di undang-undang yang baru dan peraturan pelaksana di bawahnya,” tegas Darmawansyah.
Selama ini, batasan usia dalam lowongan kerja menjadi salah satu keluhan utama para pencari kerja. Banyak perusahaan masih menerapkan batas usia maksimal, seperti 25 tahun, bagi pelamar.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli juga telah menanggapi isu ini secara serius. Ia menyatakan keinginannya untuk menciptakan kesempatan kerja yang inklusif dan bebas dari diskriminasi usia.
“Kita ingin tidak ada diskriminasi, kita ingin semua lapangan kerja itu terbuka buat siapa pun,” kata Yassierli saat ditemui di Plaza BP JAMSOSTEK, Jakarta Selatan, Kamis (8/5/2025).
“Kita mau susur sehingga semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja,” tambahnya.
Pada tahun 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menerima permohonan uji materi terhadap UU Ketenagakerjaan yang menyinggung diskriminasi dalam rekrutmen kerja. Pasal 35 Ayat (1) UU tersebut menjadi sorotan karena memberi keleluasaan bagi pemberi kerja untuk merekrut tenaga kerja secara langsung atau melalui pelaksana penempatan kerja.
Namun, MK menolak permohonan tersebut secara keseluruhan.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 di Gedung MK RI, Jakarta, 30 Juli 2024.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi hanya mencakup pembedaan yang didasarkan pada faktor seperti agama, ras, etnis, jenis kelamin, dan keyakinan politik. Karena itu, ia menilai bahwa syarat usia, pengalaman, dan pendidikan tidak termasuk bentuk diskriminatif.
Di sisi lain, hakim konstitusi M Guntur Hamzah menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia berpandangan bahwa sebagian permohonan seharusnya dikabulkan.
Menurutnya, Pasal 35 Ayat (1) sebaiknya direvisi dengan tambahan larangan bagi pemberi kerja untuk mencantumkan syarat-syarat diskriminatif dalam lowongan kerja, seperti usia, penampilan fisik, ras, dan latar belakang lainnya, kecuali jika memang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Guntur menilai, dari sisi legal formal, pasal tersebut mungkin tidak bermasalah. Namun, dari sudut pandang keadilan, pasal itu berpotensi disalahgunakan dan perlu diperjelas agar tidak menyuburkan praktik diskriminatif, khususnya dalam proses rekrutmen.


