INDORAYA — Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko menegaskan bahwa generasi muda harus menjadi bagian nyata dari solusi bangsa, bukan sekadar simbol dalam upacara atau seremoni. Menurutnya, tantangan Indonesia ke depan—baik dalam hal ekonomi, lingkungan, maupun sosial—membutuhkan pemuda yang kritis, kolaboratif, dan berani mengambil peran dalam perubahan nyata.
“Pemuda tidak boleh berhenti di slogan dan seremoni. Mereka harus jadi generasi yang turun tangan, bukan hanya angkat tangan. Tantangan masa depan tidak butuh simbol, tapi aksi dan gagasan,” katanya.
Ia menilai, selama ini banyak program kepemudaan masih bersifat formal dan elitis, belum benar-benar membuka ruang bagi pemuda di desa, komunitas, atau sektor informal untuk terlibat dalam proses pembangunan.
“Banyak anak muda punya potensi besar di bidang teknologi, sosial, hingga lingkungan, tapi belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuannya. Pemerintah daerah harus ubah cara pandang: pemuda bukan objek binaan, tapi mitra strategis,” tegasnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia muda di Jawa Tengah (15–34 tahun) mencapai lebih dari 13 juta jiwa, atau sepertiga dari total populasi. Angka ini menunjukkan potensi besar bonus demografi, namun tanpa dukungan pendidikan, pelatihan, dan partisipasi kebijakan yang inklusif, potensi tersebut bisa berubah menjadi beban sosial.
Heri menyoroti bahwa tantangan pemuda saat ini tidak hanya soal lapangan pekerjaan, tapi juga krisis kepercayaan dan relevansi.
“Banyak anak muda idealis tapi frustrasi karena merasa tidak didengar. Maka pemerintah harus menciptakan sistem yang menghargai inisiatif dan keberanian berpikir berbeda,” katanya.

Ia juga mengajak organisasi kepemudaan, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk bekerja sama dalam membangun ekosistem kepemudaan yang produktif. Program start-up berbasis desa, pelatihan wirausaha sosial, dan komunitas kreatif, menurutnya, bisa menjadi wadah nyata bagi pemuda untuk berkontribusi.
“Bayangkan kalau tiap desa punya satu program inovasi yang dikelola pemuda—dari pengelolaan sampah, pertanian digital, sampai energi alternatif. Itu bukan mimpi, asal diberi dukungan dan kepercayaan,” ujarnya.
Heri juga menyoroti pentingnya pendidikan kepemimpinan berbasis empati sosial di sekolah dan kampus. Ia menilai bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari kompetisi semata, tapi dari kemampuan mendengar, memahami, dan menggerakkan orang lain.
“Kita butuh generasi muda yang tidak hanya pintar, tapi punya kepekaan sosial dan moral publik,” tambahnya.
Sebagai penutup, Heri menekankan bahwa pemuda hari ini harus menjadi bagian dari jawaban, bukan sekadar penonton dalam perubahan bangsa.
“Kalau dulu generasi muda berjuang merebut kemerdekaan, sekarang mereka harus berjuang memastikan kemerdekaan itu bermakna bagi semua. Jadilah generasi solusi—yang berpikir, bekerja, dan menginspirasi,” pungkasnya.


