INDORAYA – Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) hingga sampai saat ini masih menjadi polemik banyak pihak, terutama para pekerja. Sebab, mereka tidak setuju dengan program yang memotong gaji pekerja.
Tidak setuju itu dikarenakan merasa keberatan dengan adanya pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen untuk iuran Tapera.
Keberatan tersebut juga diungkapkan oleh salah seorang pekerja pabrik karet di Kawasan Industri Tambak Aji, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Ngatimin.
Dia yang juga merupakan warga Jalan Tegal Rejo RT 07 RW 13, Kelurahan Tambak Aji, Kecamatan Ngaliyan itu menceritakan dirinya mulai bekerja di pabrik pada tahun 1997 hingga sampai saat ini, yakni upah bulanannya masih berada di bawah UMK Kota Semarang.
Upah yang ia terima setiap bulannya hanya mencapai Rp 2.400.000. Besaran gaji itu pun belum dipotong BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Belum lagi, pengeluaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, bulanan istri hingga anak yang masih duduk di bangku sekolah.
Sehingga jika ditarik iuran untuk Tapera, Ngatimi merasa keberatan dengan gaji pas-pasan. Penghasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-harinya masih dirasa kewalahan.
“Saya sebagai pekerja keberatan ditarik iuran Tapera sebesar 2,5 persen dari gaji. Untuk kesehari-hariannya saja sudah kesulitan dan bingung. Karena, saya bekerja dalam satu bulan tidak full, jadi setengah bulan masuk dan setengah bulannya lagi libur.
Gajinya juga berbeda, jika masuk kerja satu bulan digaji Rp 1.600.000, sedangkan setengah bulan saat libur dipotong menjadi Rp 800.000. Total gaji yang diterima sebesar Rp 2.400.000,” ungkap Ngatimin saat ditemui di rumahnya, Kamis (6/6/2024).
Gaji sebesar Rp 2.400.000 oleh Ngatimin itu pun belum kepotong BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang harus merogoh kocek Rp 170 ribu setiap bulannya.
Ngatimin mengatakan sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia khususnya di Jawa Tengah masih sangat kecil. Misalnya, UMK Kota Semarang tahun 2024 yakni sebesar Rp 3,2 juta per bulannya.
“Jadi kalau Tapera dipotong 2,5%, maka iurannya sekitar Rp 800 ribu per bulan. Maka dalam jangka waktu per tahun, uang yang terkumpul adalah Rp 9.600.000, sedangkan jangka waktu 20 tahun, Rp 19.200.000,” jelasnya.
Berdasarkan perhitungan itu iuran Tapera yang dibayar buruh 2,5 persen, dia memastikan tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK.
“Apakah waktu 50 tahun ke depan, buruh bisa beli rumah pastinya nggak mungkin. Karena perhitungannya yaitu hanya terkumpul uang Rp 48 juta dari Tapera. Padahal harga rumah subsidi saat ini, yang paling murah Rp 155 juta,” ujarnya.
Daripada untuk iuran Tapera, Ngatimin lebih memilih untuk alokasi iuran 2,5 persen bisa dialihkan ke kebutuhan yang tak terduga, serta biaya anaknya ke jenjang sekolah lebih tinggi.
“Iuran Rp 80 ribu mending ditabung sendiri dan dimanfaatkan untuk masa depan anak saya yang masih membutuhkan biaya cukup besar untuk jenjang sekolah lebih tingi. Belum lagi pengeluaran tak terduga karena hidup masyarakat kayak gitu,” ungkapnya.