Sidang Perdana Korupsi Pemkot Semarang, Mbak Ita dan Suami Tak Ajukan Eksepsi

Dickri Tifani
22 Views
4 Min Read
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu dan sang suami, Alwin Basri menjalani sidang perdana atas dugaan kasus korupsi di lingkungan Pemkot Semarang. (Foto: Dickri Tifani Badi/Indoraya)

INDORAYA – Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau yang akrab disapa Mbak Ita, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025), terkait kasus korupsi Pemerintah Kota Semarang.

Mbak Ita didampingi sang suami, Alwin Basri yang juga ditetapkan terdakwa atas kasus yang sama.

Setibanya di Pengadilan Tipikor Semarang, Mbak Ita mengenakan rompi oranye, ia tampak tenang dengan kemeja putih, syal cokelat menyerupai jaket, dan jilbab merah muda.

Keduanya lalu menuju ke ruang transit tahanan, yang kemudian mengganti pakaian dengan busana batik. Selanjutnya, Mbak Ita dan Alwin memasuki ruang sidang, dikawal enam penasihat hukum. Persidangan yang terbuka untuk umum ini dipimpin oleh Hakim Ketua Gatot Sarwadi.

Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum dari KPK mengungkap rangkaian dakwaan yang menyeret nama Mbak Ita dan suaminya dalam pusaran suap dan gratifikasi.

Mereka diduga menerima guyuran dana sebesar Rp2 miliar dari Martono, Ketua Gapensi sekaligus Direktur PT Chimader777, serta tambahan Rp1,75 miliar dari Rachmat Utama Djangkar, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.

“Uang tersebut diduga diberikan untuk memuluskan agar keduanya mendapat pekerjaan pada proyek pengadaan barang dan jasa dilingkup Pemerintah Kota Semarang,” ujar Jaksa.

Usai dijanjikan mendapat proyek pengadaan barang dan jasa tahun 2023, terdakwa Alwin Basri meminta uang Rp1 miliar yang merupakan bagian dari komitmen fee.

“Terdakwa Alwin Basri meminta komitmen fee sebesar Rp1 miliar untuk keperluan biaya pelantikan Heveaeita G. Rahayu sebagai Wali Kota Semarang,” terangnya.

Tak hanya soal suap, jaksa juga mengungkap dakwaan lain yang menyeret Mbak Ita dan Alwin dalam praktik pemotongan insentif pegawai.

Dengan dalih pelunasan utang, keduanya diduga memotong insentif pemungutan pajak serta tambahan penghasilan yang menjadi hak pegawai Bapenda Kota Semarang.

Dana tersebut berasal dari penyisihan pendapatan yang dikenal sebagai “iuran kebersamaan”, namun kini justru menjadi bukti dugaan penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan pribadi.

“Total potongan yang dinikmati kedua terdakwa masing-masing sebesar Rp 1,8 miliar untuk terdakwa Ita dan Rp 1,2 miliar untuk terdakwa Alwin,” jelasnya.

Selanjutnya penerima uang terdakwa Hevearita dan Alwin Basri menerima gratifikasi atas pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang melalui penunjukan langsung.

“Dari nilai proyek sebesar Rp16 miliar tersebut, kedua terdakwa masing-masing menerima gratifikasi yang tidak dilaporkan ke KPK sebesar Rp2 miliar,” ujarnya.

Keduanya kini harus menghadapi jeratan hukum yang berat, dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dalam sidang perdana ini, baik Ita maupun Alwin memilih untuk tidak mengajukan eksepsi atau keberatan, memutuskan untuk mempercepat proses hukum mereka.

Dengan langkah itu, persidangan pun berlanjut ke agenda pembuktian yang akan digelar pekan depan. Agus Nurudin, salah satu penasihat hukum keduanya, mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil untuk memperlancar jalannya proses persidangan tanpa halangan teknis.

“Kami tidak mengajukan eksepsi agar persidangan berjalan dengan cepat, sehingga minggu depan kami bisa langsung menghadirkan saksi,” tandasnya.

Share This Article