INDORAYA – Warga Kota Semarang, khususnya di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, memiliki tradisi unik menjelang bulan suci Ramadan. Tradisi ini dikenal sebagai Gebyuran Bustaman, yakni warga perang air warna menyambut bulan Ramadan.
Pada tahun ini Gebyuran Bustaman digelar pada Minggu (23/2/2025). Dilansir dari pariwisata.semarangkota.go.id, sejarah Gebyuran Bustaman bermula pada tahun 1742 yang dirintis oleh Kiai Ngebei Kertoboso Bustam alias Kiai Bustaman.
Kiai Bustam awalnya melakukan ritual sederhana dengan menyiram cucunya sebagai simbol penyucian diri. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang menjadi festival meriah yang melibatkan warga dan menjadikannya bagian penting dari budaya Kampung Bustaman.
Ritual ini sempat terhenti tetapi kembali dihidupkan pada tahun 2012 dengan konsep yang lebih meriah. Gebyuran Bustaman kini dikenal sebagai upacara perang air yang bertujuan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa sebelum menjalani ibadah puasa.
Rangkaian Acara Gebyuran Bustaman

Pada Minggu (23/2/2025) sore, ratusan warga Kampung Bustaman sudah bersiap melaksanakan tradisi Gebyuran Bustaman atau perang air.
Sebelum perayaan perang air dimulai, sebuah panggung kesenian berdiri di depan gapura Kampung Bustaman, di kawasan Jalan MT Haryono Semarang.
Di sekitarnya, berbagai kuliner UMKM menawarkan jajanan tradisional khas serta produk unggulan dari Kampung Bustaman, menciptakan suasana meriah yang memanjakan pengunjung. Berbagai pertunjukan tersaji di panggung kesenian tersebut.
Begitu memasuki kampung ini, pengunjung dan warga merasakan keseruan tradisi yang dimulai dengan coretan warna-warni dari tepung yang dicampur pewarna makanan pada wajah dan pakaian mereka.
Sementara itu, para ibu dan warga lainnya sibuk menyiapkan kantong plastik berisi air berwarna, siap dilempar untuk menambah keceriaan dalam perang warna yang penuh makna.
Menjelang dimulainya Gebyuran Bustaman, para jurnalis dan fotografer dengan sigap melindungi perlengkapan mereka dengan plastik, bersiap mengabadikan momen penuh warna.
Tepat setelah salat Asar, keseruan pun dimulai. Suasana riang dan penuh kebersamaan tersaji di tengah gemuruh siraman air yang menyegarkan.
Perayaan dimulai dengan kirab budaya yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, R Wing Wiyarso Poespojoedho bersama Anggota DPR RI Komisi VII Samuel Wattimena, serta sejumlah pejabat daerah lainnya.
Mereka berjalan beriringan, diikuti oleh pembawa kendi yang melangkah menuju Masjid Barokah, Bustaman, tempat tujuh anak telah bersiap untuk menjalani prosesi penyucian. Dengan penuh khidmat, air yang telah didoakan disiramkan ke tubuh tujuh anak tersebut sebagai simbol pembersihan diri.
Begitu prosesi selesai, suara petasan dan tabuhan genderang menggema di udara, menandakan dimulainya perang air. Kegembiraan pun meledak di setiap sudut. Warga saling melempar air berwarna, membasahi siapa saja yang ada di sekitar.
Dari atap loteng, beberapa peserta sengaja mengguyurkan air ke kerumunan di bawah, sementara lainnya sibuk mengabadikan momen dari musala, menangkap keceriaan dalam bidikan kamera.
Ketua Panitia Gebyuran Bustaman, Arif Hikam Syaifullah mengungkapkan, tahun ini tradisi Gebyuran Bustaman berlangsung lebih meriah dibandingkan sebelumnya, seiring dengan semakin dikenalnya acara ini di tingkat nasional.
Antusiasme semakin meningkat sejak acara dibuka pada Jumat (21/2/2025) yang bahkan dihadiri oleh Wakil Menteri Pariwisata, Giring Ganesha.
Kemeriahan pun bertambah dengan adanya fashion show hasil inisiasi desainer ternama, Samuel Wattimena, yang memberikan sentuhan berbeda pada perayaan tahun ini.
Filosofi Gebyuran Bustaman
Sebagai tradisi yang selalu ada menjelang Ramadan, Gebyuran Bustaman terus berkembang. Jika sebelumnya seluruh rangkaian acara digelar di dalam kampung, tahun ini hiburan dan kuliner dipindahkan ke luar kampung agar lebih luas dan nyaman.
Meski begitu, inti tradisi Gebyuran tetap berlangsung di dalam kampung, menjaga keaslian dan maknanya. Perayaan dimulai sejak Kamis malam dengan ritual arwah jamak, dilanjutkan pada Jumat dengan sarasehan warga dan ziarah ke Makam Mbah Yai Bustam.
“Sabtunya kita bersih kampung dan fashion show, Minggunya puncaknya,” Ketua Panitia Gebyuran Bustaman, Arif Hikam Syaifullah.
Diceritakan, Mbah Bustam terbiasa memandikan cucunya menjelang bulan Ramadan dengan cara menyiram. Tradisi ini memiliki makna dan filosofi mendalam.
Coretan di wajah melambangkan beban dosa yang melekat pada diri seseorang. Air berwarna yang digunakan berasal dari sumur peninggalan Kiai Bustam yang sejak dahulu dimanfaatkan untuk mandi sebagai bentuk penyucian diri menjelang bulan Ramadan.
Mbah Bustam sendiri bukan sekadar tokoh agama, tetapi juga seorang pejuang yang berperan penting dalam menjembatani komunikasi antara rakyat Indonesia dan pemerintah Belanda, menjadikannya sosok berpengaruh dalam sejarah bangsa.
Pihaknya berharap Kampung Bustaman lebih dikenal tidak hanya sebagai Kampung Galainya dan Kampung Jagal Kurban. Tetapi juga karena kuliner tradisional yang ramai selama sahur dan buka puasa.
“Tapi di sini ada kulinernya, bahkan saat sahur dan buka puasa ini juga ramai jajanan tradisional, sehingga ada banyak trobosan setiap tahunnya, dan tradisi ini selalu terjaga,” harap Arif.
Berharap Terus Dilestarikan
Di sisi lain, Anggota DPR RI Komisi VII, Samuel Wattimena mengapresiasi dan berterima kasih atas kesempatan telah dilibatkan dalam kemeriahan Gebyuran Bustaman. Ini menjadi pengalaman berharga yang memperkuat rasa kebersamaan dan kecintaan terhadap budaya lokal.
“Saya berharap, saya bisa partisipasi tahun depan dan lebih meriah,” ungkap Samuel.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, R Wing Wiyarso Poespojoedho, bersyukur tradisi ini tetap lestari dan terjaga hingga kini.
Menurutnya, keberlanjutan tradisi ini menjadi bukti kuat budaya lokal memiliki tempat yang tidak tergantikan dalam kehidupan masyarakat.
“Kearifan lokal ini harus terjaga sebagai warisan dari Kiyai Bustam menjelang Bulan Ramadan, dan kampung ini sebagai salah satu potensi sektor wisata Kota Semarang, baik dari lokal maupun mancanegara,” jelasnya.
Lebih lanjut Pemkot Semarang berharap Kampung Bustaman akan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.
“Karena banyak sejarah di Kota Semarang di Kampung Bustaman,” tandas Wing.