Ad imageAd image

Sejarah dan Peninggalan Curug Gondoriyo, Air Terjun Tersembunyi di Semarang

Redaksi Indoraya
By Redaksi Indoraya 57 Views
7 Min Read
Sejarah dan Peninggalan Curug Gondoriyo, Air Terjun Tersembunyi di Semarang. (Gita Fajriyani/Indoraya)

INDORAYA – Gemericik air begitu terdengar syahdu memanjakan telinga. Dari sebuah air terjun setinggi 20 meter, air tidak henti-hentinya menetes. Deras berjatuhan menghantam bebatuan dan tanah, menciptakan suara lain. Tersembunyi di suatu desa di Kecamatan Ngaliyan, Semarang, alam seolah sedang bersenandung kepada para manusia.

Air terjun tersebut malu-malu menyembunyikan dirinya di balik hutan. Ia dikelilingi oleh pepohonan serta semak belukar dan rumput-rumput yang merambat. Untuk dapat menikmati pesona air terjun, harus menuruni jalan setapak sekitar 20 meter dari rumah warga terdekat.

Curug Gondoriyo, begitulah orang-orang menyebutnya. Hal ini lantaran letaknya di Kelurahan Gondoriyo, tepatnya di RT 03 RW 04. Di sekitar curug itu, kita akan menjumpai salah seorang yang berhasil menyulap hutan menjadi tempat wisata. Namanya Ribuanto, tokoh di kampung yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua RW.

Pak Ribut, demikian panggilannya, akan kita jumpai setiap hari di sana. Orangnya masih tampak segar, tidak terlihat seperti lelaki berusia 55 tahun. Apalagi ketika mengenakan topi dan celana jeans pendek. Dialah orang yang setiap hari membersihkan sampah plastik di sungai, rerumputan liar, juga dedaunan kering di sekitar air terjun.

Jika berkunjung puluhan tahun lalu, barangkali yang kita jumpai hanyalah hutan liar yang tidak terjamah. Sedangkan air terjun dan sungai itu diketahui sudah ada sejak zaman nenek moyang. Masyarakat setempat dulunya sering memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari.

“Dulu sering mandi dan nyuci baju di sini. Tahun 1980 sampai 1990-an kan juga belum ada artetis. Sepanjang sungai waktu itu juga masih bersih, ga ada limbah dan sampah,” ujarnya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke bawah.

Pengunjung di Curug Gondoriyo Kota Semarang. (Gita Fajriyani/Indoraya)

Mulai tahun 2018, warga menyadari bahwa kawasan itu memiliki potensi wisata. Lalu dibentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Gondoriyo dan dilakukan kerja bakti. Dengan bantuan dana dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Semarang, jadilah Curug Gondoriyo yang diresmikan oleh Walikota Hendrar Prihadi pada tahun 2019.

“Prosesnya empat bulan kerja bakti, gotong-royong benah-benah bareng. Ada yang buat tangga, buat jalan, buat taman, kamar mandi, gapura, kolam, yang dulunya tak terjamah perlahan mulai dikenal,” kata Ribut, Kamis (19/05/22).

Salah satu anggota Pokdarwis sekaligus pengelola, Suryanto mengungkapkan, Curug Gondoriyo menawarkan konsep wisata alam yang bisa dikunjungi sampai malam. Menurutnya daya tariknya justru ketika malam hari, di mana tampak eksotis dengan cahaya warna-warni dari lampu serta jembatan yang dihiasi payung-payung.

Sejak dibuka, curug ini sempat viral dan kedatangan banyak wisatawan. Bahkan setiap hari omzet yang dihasilkan bisa mencapai Rp. 500 ribu rupiah. Sedangkan pada hari Minggu atau hari libur tanggal merah, omzet bisa mencapai kisaran angka Rp. 3,5 sampai Rp. 4 juta rupiah.

Namun hantaman covid-19 di Indonesia sejak Maret 2020 lalu menjadi kendala tersendiri. Sejak itu pula, koordinasi dan pengelolaan menjadi terbengkalai, sehingga membuat pengunjung di curug ini tidak seramai dahulu. “Sekarang anggotanya kurang kuat, pengennya seperti kaya dulu gotong royong kita kelola,” katanya dengan nada pelan.

Talang Londo dan Arca dalam Goa

Talang Londo dan Arca dalam Goa Curug Gondoriyo. (Istimewa)

Sama seperti wisata lainnya, Curug Gondoriyo memiliki kisah dan peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih terekam dalam memori warganya. Suryanto menceritakan, di sekitar air terjun itu terdapat saluran air dari kayu yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Saluran air itu dinamakan Talang Londo.

“Talang Londo panjangnya sekitar 20 meter, itu dari kayu jati umurnya berabad-abad. Masih hidup dan tidak lapuk (rapuh) sampai sekarang. Itu buat mengairi sawah,” jelas lelaki 59 tahun yang juga menjadi sesepuh kampung ini.

Tidak hanya Talang Londo, tempat itu juga memiliki peninggalan sejarah lainnya. Di dalam goa di bawah air terjun itu, terdapat patung atau arca berbentuk kera. Namun patung itu sudah rusak karena diambil tangan dan kepalanya, sehingga kini hanya tampak seperti batu biasa.

“Dulunya ada yang pernah masuk gua dan menemuinya. Dari komunitas pecinta alam mana gitu, mereka bisa masuk karena punya alat dan perlengkapannya,” lanjutnya. “Konon katanya gua ini juga tembus sampai Kaliwungu di makamnya Sunan Katon,” ujar Ribut, melengkapi Suryanto.

Promosi di Media Sosial

Saat ini Curug Gondoriyo menjadi salah satu destinasi wisata alam yang dimiliki Kota Lumpia. Letaknya yang tersembunyi di sebuah desa dengan suasana alam yang teduh dan masih asri ini diharapkan mampu menarik wisatawan luar kota yang sedang berkunjung di Semarang.

Namun Ribut menyadari bahwa seindah dan secantik apapun jika tidak diimbangi dengan strategi promosi lewat media sosial, tetap tidak akan terkenal. Sementara hal inilah yang menjadi kendalanya.“Pendidikan warga sini kan kurang, jadi pengelola yang mau menggunakan media itu ga ada yang ngerti, apalagi saya sudah tua,” katanya.

Sedangkan para pemuda desa yang hidup di era digital dan mengerti tentang penggunaan media, kebanyakan lebih memilih bekerja di luar. “Habis lulus SMA kebanyakan masuk pabrik, karena kebentur ekonomi. Kalau sarjana belum mau ke sini,” ungkap bapak beranak tiga ini.

Ribut pun menyadari bahwa saat ini membutuhkan tenaga yang bisa ditugaskan khusus untuk mempromosikan wisata ini lewat media sosial. Ia tetap berusaha merangkul anak-anak muda di Gondoriyo untuk bisa membantu mengembangkan wisata tersebut.

Pasalnya dengan melihat potensinya, jika dikelola dengan baik, Curug Gondoriyo bisa menjadi aset berharga yang dapat membantu meningkatkan perekonomian warga setempat. Sesepuh kampung itu berharap, potensi ini harus didorong dan dikembangkan, maka dari itu dibutuhkan kerja sama yang solid dan kompak dari seluruh warganya.

[Rep. Gita Fajriyani/Red. Ananda Delina]

Share This Article