INDORAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melakukan proses renovasi lantai dasar dan atap Gedung Ki Narto Sabdo di kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Kota Semarang. Gedung ini merupakan tempat latihan dan juga pentas kelompok seniman wayang orang Ngesti Pandowo.
Wayang orang Ngesti Pandowo ialah kelompok kesenian yang eksis di Kota Semarang sejak puluhan tahun lalu. Tiap Sabtu malam Minggu, Ngesti Pandowo rutin menggelar pentas pertunjukan di Gedung Ki Narto Sabto.
Menurut Ketua Bidang Pementasan Wayang Orang Ngesti Pandowo, Bambang Budiono, perbaikan lantai dan atap gedung itu memakan waktu sekitar enam bulan. Hal ini tentu berdampak pada aktivitas komunitas seni yang jumlahnya mencapai 90an orang tersebut.
Untuk sementara tempat yang dia biasa gunakan pentas, yakni Gedung Ki Narto Sabdo ditutup dan belum dapat kejelasan lokasi penggantinya. Saat ini para seniman Ngesti Pandowo masih bingung mencari lokasi pentas yang rutin diadakan setiap malam Minggu.
“Dinas berjanji akan mengupayakan agar kami bisa tetap pentas meski ada renovasi. Karena kalau libur selama rentan waktu enam bulan, terlalu lama. Penonton yang telah kita bangun kebiasaannya bisa hilang,” kata Budiono di sela latihan di SMA Loyola Semarang, Rabu (7/8/2024) sore.
Pihaknya mengaku telah berkali-kali diskusi dengan dinas terkait dan anggota dewan. Namun sampai saat ini, belum ada mekanisme paten terkait regulasi tempat sementara yang bisa dipakai untuk pentas wayang orang Ngesti Pandowo.
“Mekanismenya sampai saat ini belum ketemu, mau main di gedung baru, tapi ada aturan sewa Rp25 juta, di open teater (kompleks TBRS) sebenarnya juga bisa. Jadi memang ada beberapa opsi, tetapi belum ketemu yang pasti,” jelas Budono Lee, sapaan akrabnya.
Meski begitu, seniman Ngesti Pandowo tetap mendukung penuh renovasi yang dikerjakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang ini. Namun, dia berharap agar wayang orang tetap bisa tampil di tengah pengerjaan renovasi.
Yang dikhawatirkan ialah ketika wayang orang tidak bisa tampil seperti biasanya. Padahal pentas produksi Ngesti Pandowo memiliki cukup banyak penonton dan masih eksis di tengah perkembangan Kota Semarang.
“Namun ketakutan kita kalau libur lama, penonton bisa hilang, karena mereka sudah tahunya Ngesti Pandowo tiap akhir pekan tampil, eksistensi ini harus terus dijaga entah di manapun mainnya,” kata Budiono.
Dari dua opsi lokasi, dia berharap Ngesti Pandowo bisa tampil di Gedung Baru TBRS namun kendalanya dikenai biaya operasional sewa tempat. Sedangkan di open theater lokasi yang terlalu terbuka membuat pemain sulit mengatur blocking serta butuh penyesuaian dengan penonton.
“Secara pribadi ya di gedung baru inginnya. Tapi harapannya di tenpat manapun enggak apa-apa asalkan tetap bisa tampil,” harapn Budiono Lee yang aktif bergiat di Ngesti Pandowo sejak tahun 1988.
Sebagai informasi, Ngesti Pandowo ialah kelompok kesenian legendaris di Kota Semarang. Berdiri dan menggelar pentas pertunjukan wayang orang pada tahun 1937. Sebelumnya mereka pentas dengan berpindah-pindah lokasi di berbagai pasar malam di daerah Jawa Timur.
Dalam perjalanannya, Ngesti Pandowo sempat vakum lima tahun, tepatnya saat daerah-daerah di tanah air bergejolak pasca kemerdekaan tahun 1945. Ngesti Pandowo kembali hidup pada 1950. Tapi mereka memutuskan menetap di Kota Semarang dan menggelar pentas di pasar malam Stadion Diponegoro.