Ad imageAd image

Raperda Pemberdayaan Perempuan Kota Semarang Dinilai Cacat Prosedur, Kelompok Rentan Tak Dilibatkan

Athok Mahfud
By Athok Mahfud 658 Views
3 Min Read
Ilustrasi penyusunan Raperda. (Foto: istimewa)

INDORAYA – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Kota Semarang yang saat ini digodok di meja DPRD Kota Semarang dinilai cacat prosedur. Dari sisi prosedur, pembentukan Raperda ini dinilai tidak partisipatif karena tidak melibatkan kelompok rentan.

Raperda ini turut disorot oleh Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM). Lembaga yang bergerak di bidang advokasi dan pendampingan hukum khusus perempuan dan anak ini menilai, DPRD tidak partisipatif dalam melakukan penyusunan Raperda tersebut.

“Dari sisi prosedur, pembentukan Raperda ini tidak partisipatif. Karena proses penyusunan dan pembahasan Raperda tersebut tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak langsung yaitu perempuan, terutama kelompok perempuan rentan,” ujar Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah.

BACA JUGA:   Pj Bupati Pati Salurkan Dana Hibah Tahap I Senilai Rp 2 M

Kelompok rentan yang dimaksud yaitu perempuan korban kekerasan, perempuan disabilitas, perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan di kawasan rob dan banjir, perempuan dalam kawasan rawan bencana alam, perempuan pekerja, perempuan yang hidup dalam konflik ekstrimisme, dan sebagainya.

Selain itu, proses pembentukan Raperda Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan juga tidak melibatkan organisasi masyarakat sipil yang sudah lama bekerja bersama untuk pemajuan HAM di Kota Semarang. Nihayatul menilai, DPRD Kota Semarang tidak serius melibatkan organisasi perempuan.

Dari sisi substansinya, Raperda ini juga dinilai tidak jelas tujuannya karena aturan pembahasannya sangat luas. Namun, minimalis dan sederhana. Misalnya dalam pembahasan tujuan di pasal 3 poin g, disebutkan bahwa produk hukum ini dapat memberikan pelayanan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, ekploitasi, dan diskriminasi.

BACA JUGA:   Sambut HUT Polwan ke-75, Polda Jateng Gelar Olahraga Bersama

“Tetapi substansinya tidak mengatur tentang pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, ekploitasi, dan diskriminasi.Hal ini tidak sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ungkap Nihayatul.

Menurutnya, Raperda ini juga mengamputasi keterpaduan layanan, sinergitas, dan praktik-praktik baik serta inisiasi yang telah dibangun bertahun-tahun antara LRC-KHAM bersama dengan masyarakat Kota Semarang. Sejak tahun 2005 didirikan PPT seruni, kemudian disusul adanya inisiasi pembentukan PPT Kecamatan di 4 Kecamatan.

“Kemudian diadopsi oleh Pemerintah Kota Semarang dan diperluas di seluruh kecamatan, hingga adanya kelompok-kelompok dan layanan di tingkat kelurahan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pengaturan tentang pelayanan terpadu dalam penanganan, pelindungan dan pemulihan korban kekerasan,” beber Nihayatul.

BACA JUGA:   Resmikan Museum Islam Nusantara Lasem Rembang, Sandiaga Uno: Kami Apresiasi

“Raperda ini jelas tidak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” imbuhnya.

Berdasarkan hal itu, LRC-KJHAM menilai bahwa Raperda Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Kota Semarang belum bisa menyelesaikan permasalahan pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Raperda ini juga dinilai mengabaikan kepentingan kaum perempuan.

“Prosedur dan isi Raperda tidak sesuai dengan aturan di atasnya dan tidak sesuai dengan kondisi Kota Semarang, sehingga belum bisa menyelesaikan masalah pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Raperda tersebut juga timpa dan tidak inklusif,” tandas Nihayatul.

Share this Article
Leave a comment