INDORAYA – Pelaksanaan pesta demokrasi Pemilu 2024 sudah berakhir pada 14 Februari 2024 lalu. Sebagian masyarakat telah menggunakan hak pilihnya untuk menentukan calon pemimpin bangsa. Meski Pemilu selesai, namun suhu politik yang memanas belum sepenuhnya padam. Masing-masing kubu atau peserta Pemilu saling bersitegang menanti hasil perhitungan suara dari KPU.
Bahkan sebagian pihak yang merasa tidak puas terhadap proses penyelenggaran Pemilu 2024 terus melakukan seruan, aksi, dan perlawanan. Hari-hari ini kita dihadapkan dengan situasi politik yang semakin gaduh karena ketegangan antarpeserta Pemilu. Terlebih di media sosial, berbagai narasi muncul dan membuat situasi semakin keruh.
Media sosial seolah sudah menjadi arena pertarungan wacana. Berbagai konten mengalir deras dan memenuhi ruang digital maya. Di media sosial, perang narasi terjadi antara masing-masing kubu maupun para pendukung. Para pendukung fanatik melontarkan narasi-narasi pembelaan kepada jagoan yang didukungnya dan cenderung menjatuhkan lawan politiknya. Hingga akhirnya konten bernada fitnah, hoaks, ujaran kebencian, membanjiri beranda media sosial kita pasca perhelatan Pemilu.
Derasnya arus informasi yang tidak terbendung ini membuat masyarakat sulit memfilter mana informasi yang benar dan berbasis data dan fakta, serta mana kabar bohong yang sengaja diciptakan untuk memperkeruh keadaan. Hoaks di media sosial yang tak terbendung menjadi ancaman serius bagi demokrasi karena dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Penyebaran hoaks di masa Pemilu 2024 terjadi begitu masif. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI menunjukkan, mulai dari Juli 2023 hingga awal tahun 2024, total ada sebanyak 2.882 konten hoaks yang menyebar di platform digital. Kominfo mengidentifikasi 1.325 konten di platform Facebook, 947 konten di platform X, 198 konten platform Instagram, 342 konten platform TikTok, 36 konten plattform Snack Video dan 34 konten platform Youtube.
Tidak berhenti di situ, saat ini pasca Pemilu berlangsung, konten hoaks dan fitnah untuk menjatuhkan organisasi maupun personal bahkan semakin menjadi-jadi. Kabar bohong dan narasi yang buruk menjadi senjata bagi suatu kelompok untuk menyerang dan menjatuhkan pihak atau kelompok lain yang berseberangan. Sebaliknya, narasi yang cenderung mengunggulkan kelompok yang didukung juga diproduksi untuk memanipulasi masyarakat.
Hoaks Pemakzulan Jokowi
Adapun salah satu isu yang rawan muncul dan perlu diwaspadai pada hari-hari ini yaitu isu tentang pemakzulan Presiden Joko Widodo. Isu pemazulan ini seringkali dimunculkan ke media sosial sebagai bentuk penolakan terhadap sikap Presiden Jokowi yang dianggap terlalu cawe-cawe dan merusak demokrasi. Hoaks ini juga menarasikan kecurangan dan ketidakjujuran dalam Pemilu yang dituduhkan kepada Jokowi yang dalam Pemilu kali ini mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Contohnya yakni sebuah narasi di media sosial YouTube dan Facebook pada Senin (26/2/2024) yang mengklaim Ketua DPR RI Puan Maharani membacakan hak angket pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Video berdurasi 10 menit 5 detik itu diberi judul GEGER SORE INI || PUAN BACAKAN HAK ANGKET TAK DI SANGKA ISINYA PEMAKZULAN JOKOWI SEBAGAI PRESIDEN.
Namun setelah dilakukan penelusuran, video yang mengklaim DPR telah memakzulkan Presiden Jokowi tersebut ternyata hoaks. Konten menyesatkan itu muncul di tengah wacana hak angket yang disuarakan oleh kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Hak angket yang digulirkan itu pun tidak terkait dengan pemakzulan Presiden Jokowi, melainkan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Saat ini pun DPR RI belum memulai proses pengajuan hak angket dan presiden Jokowi masih berstatus aktif hingga bulan November.
Hoaks semacam ini tentu sangat berbahaya karena informasi yang disebarkan ialah jelas-jelas manipulasi dan dapat menyesatkan publik. Bahkan hal itu dapat merusak citra dan reputasi presiden serta membuat masyarakat tidak percaya lagi terhadap presiden dan lembaga pemerintahan. Hoaks dengan isu pemakzulan Presiden Jokowi memang sengaja diciptakan untuk menjatuhkan citra presiden di hadapan rakyatnya. Hal tersebut hanya akan membuat masyarakat semakin gaduh, sehingga munculnya isu-isu semacam ini di momen Pemilu 2024 harus selalu diwaspadai agar tidak terprovokasi.
Mekanisme Pemakzulan Presiden
Di luar itu, pemakzulan atau pemberhentian terhadap presiden sendiri tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada situasi khusus dan mekansime tertentu yang harus dipenuhi sehingga presiden bisa dimakzulkan. Pemakzulan presiden sendiri di Indonesia diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Disebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagaimana ditulis oleh Hamdan Zoelva dalam buku Impeachment Presiden, ada dua alasan yang menjadi dasar pemberhentian presiden. Pertama, pemberhentian dapat dilakukan jika Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, meliputi penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pasal ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan tegas terhadap presiden yang terlibat dalam tindakan yang merugikan negara atau melanggar hukum dengan serius.
Kedua, presiden juga dapat diberhentikan jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Hal ini menunjukkan bahwa pemberhentian tidak hanya terkait dengan pelanggaran hukum tetapi juga dengan kemampuan dan kelayakan presiden untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan adanya ketentuan ini, UUD 1945 memberikan landasan untuk memastikan bahwa presiden yang menjabat memenuhi standar yang ditetapkan oleh konstitusi.
Dalam Pasal 7B UUD 1945 disebutkan, pemakzulan presiden memiliki proses dan tahapan panjang. DPR memiliki wewenang mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Sebelum itu, DPR harus mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum. Namun pengajuan permintaan ke MK hanya dapat dilakukan jika didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, yang juga dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Selanjutnya MK memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden paling lama 90 hari setelah menerima permintaan dari DPR. Jika MK memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Proses berikutnya MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul pemberhentian dalam waktu paling lambat 30 hari setelah menerima usul dari DPR. Keputusan MPR harus diambil dalam paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sebelum keputusan diambil, Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Bahaya Berita Hoaks
Hoaks sangatlah berbahaya bagi kehidupan demokrasi bangsa Indonesia. Berita bohong tentang Pemilu yang sengaja diproduksi dan disebarkan menodai marwah demokrasi dan mengancam kesatuan bangsa. Hoaks dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam melihat situasi. Hoaks juga dapat mengurangi kepercayaan terhadap sistem Pemilu, peserta Pemilu, serta lembaga penyelenggara Pemilu. Hoaks juga bisa membuat masyarakat terprovokasi untuk melakukan aksi gerakan yang justru malah mengancam persatuan dan keharmonisan dalam kehidupan bangsa.
Di masa-masa tegang pasca berlangsungnya Pemilu 2024 ini, munculnya informasi di media sosial yang cenderung memprovokasi dan menebar kebencian haruslah diwaspadai. Jangan mudah mempercayai dan termakan dengan berita hoaks yang dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika menerima informasi yang belum jelas sumbernya, alangkah lebih baiknya diverifikasi terlebih, jangan langsung dibenarkan apalagi disebarkan kepada orang lain.
Pengguna media sosial yang cerdas ialah dia yang selalu bersikap skeptis dan kritis atas setiap informasi yang diterimanya. Ketika menemukan konten dengan judul click bait, sensaional, dan bombastis, ini harus diwaspadai. Untuk menguji kebenaran informasi, bandingankanlah informasi itu dengan media-media profesional terverifikasi dewan pers agar tidak disesatkan. Jika menemukan informasi yang belum jelas seputar Pemilu, bisa melapor ke KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara, Kementerian Kominfo, Mafindo, maupun instansi lain yang berfokus menangkal peredaran berita hoaks.
Sumber Rujukan


