INDORAYA – Pelaksanaan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari lagi. Pada tanggal 14 Februari 2024, masyarakat yang memiliki hak pilih akan menyalurkan haknya untuk memilih calon pemimpin bangsa di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Nantinya akan ada lima jenis surat suara yang akan dicoblos di TPS, meliputi capres-cawapres, caleg DPD RI, caleg DPR RI, caleg DPRD Provinsi, dan caleg DPRD Kabupaten/Kota.
Selama masa Pemilu 2024 berlangsung, internet dan media sosial telah menjadi bagian penting yang mewarnai dinamika pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Berbagai informasi dan narasi terkait proses dan dinamika kehidupan politik merebak di ruang digital. Salah satu ancaman nyata dari perkembangan teknologi digital di masa Pemilu yaitu maraknya berita bohong yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Munculnya berita bohong, fitnah, narasi provokatif untuk menjatuhkan kontestan politik memang sulit dihindarkan. Berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga Januari 2024, ditemukan sebanyak 103.000 konten hoaks tentang Pemilu. Maka dari itu pengguna media sosial perlu berhati-hati dalam menyikapi setiap konten pemberitaan yang muncul agar tidak tersesat dalam informasi palsu.
Adapun salah satu isu yang rawan terjadi di setiap masa Pemilu yaitu dugaan adanya kecurangan dengan tercoblosnya surat suara sebelum hari pemungutan. Banyak narasi menyebut surat suara untuk Pemilu 2024 sudah tercoblos untuk kandidat tertentu. Misalnya awal bulan ini masyarakat dihebohkan dengan kabar terkait surat suara tercoblos di Malaysia.
Dalam pemberitaan di sejumlah media, disebutkan ada dugaan 1.972 surat suara tercoblos untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Malaysia. Surat suara itu dicoblos orang yang tidak berwenang. Saat ini KPU RI masih mendalami informasi itu dan terus berkoordinasi dengan pengawas Pemilu luar negeri Kuala Lumpur.
Pernah Terjadi di Pemilu 2019
Informasi terkait surat suara rusak atau tercoblos memang sering beredar pada masa Pemilu. Namun perlu berhati-hati dan jangan mudah percaya jika tidak ada bukti dan kebenarannya. Isu menyangkut surat suara yang sudah tercoblos ini juga pernah terjadi pada Pemilu 2019 sebelumnya. Bahkan saat itu, hoaks tentang surat suara menjadi topik yang membuat heboh masyarakat.
Pada Pemilu 20219 ada seseorang yang menyebarkan berita bohong tentang tujuh kontainter membawa surat suara yang telah tercoblos di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kasus ini bahkan menjerat pelaku penyebar berita bohong ke meja hukum dan berujung pada hukuman penjara. Pelaku penyebar hoaks yang merupakan Guru Mata Pelajaran Geografi di sebuah SMP swasta di Cilegon, Mochamad Iwan Kurniawan, dihukum dua tahun penjara.
Iwan yang menyebarkan berita tujuha kontainer surat suara yang telah tercoblos itu kemudian ditangkap polisi hingga akhirnya disidangkan di PN Jakarta Selatan. Pada 15 Agustus 2019, PN Jaksel menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada pelaku. Iwan juga didenda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua orang untuk lebih mawas dalam menyebarkan informasi sebelum jelas kebenarannya.
Berkaca dari hal ini, informasi serupa yaitu hoaks tentang tercoblosnya surat suara KPU sebelum hari pemungutan rawan terjadi. Belajar dari pengalaman di tahun 2019, seharusnya kemunculan berita hoaks yang mengandung unsur kebencian dan merugikan salah satu kandidat harus diwaspadai. Ketika mendapatkan suatu informasi, maka harus diverifikasi terlebih dahulu fakta dan kebenarannya.
Masyarakat diharapkan sudah lebih memahami mana informasi yang benar dan tidak benar. Terlebih telah mengetahui alur proses pembuatan surat suara hingga distribusi ke TPS dan pengawasannya serta bagaimana sistem pelaporan jika muncul dugaan surat suara tercoblos. Sehingga masyarakat tidak mudah diprovokasi dengan konten hoaks di dunia maya yang menyesatkan dan tidak edukatif. Dampak dari hoaks memang sangat berhaya karena dapat memanipulasi rasionalitas masyarakat.
Agar Tidak Terpapar Hoaks
Menurut Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, agar tidak terpapar konten hoaks menjelang Pemilu, pengguna media sosial diminta untuk lebih skeptis dan kritis dalam membaca informasi. Setiap konten di media sosial harus diverifikasi terlebih dahulu. Tidak langsung mengafirmasi informasi yang masih belum jelas sumber dan kebenarannya.
Hoaks biasanya menyerang pada sisi emosional dan persolan. Maka salah satu upaya agar tidak terpapar hoaks yaitu mewaspadai konten-konten click bait yang menggunakan judul sensasional dan bombastis. Ini karena hoaks dapat diyakini sebagai kebenaran ketika ada hubungan dengan emosi seseorang.
Selanjutnya ketika menemukan konten provokatif di media sosial yang belum jelas fakta dan kebenarannya, masyarakat diharap mengecek atau menelusuri pemberitaan di media massa yang sudah terverifikasi dewan pers dan menaati kode etik jurnalistik. Hoaks paling sering disebarluaskan oleh seseorang di media sosial. Maka untuk menguji kebenarannya, diharapkan mengecek informasi ke media yang kredibel.
Selain itu, pengguna media sosial juga dapat mengecek kebenaran suatu informasi melalui laman Cekfakta.com. Atau sejumlah media massa yang sudah memiliki situs Cek Fakta seperti Kompas, Tempo, Liputan6, maupun media lainnya. Selanjutnya jika masyarakat menemukan informasi hoaks seputar Pemilu bisa melaporkannya ke KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara Pemilu, Kementerian Kominfo, Mafindo, maupun instansi lain yang berfokus menangkal berita hoaks.