Ad imageAd image

PPN Naik 12 Persen, Apindo Jateng Ungkap Potensi Karyawan Dirumahkan

Redaksi Indoraya
6 Views
2 Min Read
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Frans Kongi.

INDORAYA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mengungkap dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap sektor industri yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2025.

Ketua Apindo Jateng Frans Kongi berkata bahwa kebijakan PPN 12 persen ini bisa menurunkan daya beli masyarakat yang nantinya bisa berdampak pada produksi dan penjualan barang di perusahaan.

“PPN 12 persen bisa menurunkan daya beli masyarakat, apalagi di dalam beberapa bulan terakhir terjadi deflasi. Berarti memang daya beli masyarakat itu kurang, menurun,” katanya kepada Indoraya.news melalui telepon, Selasa (24/12/2024).

Kenaikan PPN ini dinilai bisa menambah ongkos produksi perusahaan dan juga menurunkan permintaan barang karena daya beli masyarakat yang turun.

Alhasil, kata Frans, banyak barang yang sudah diproduksi dan siap dipasarkan akhirnya menumpuk di gudang. Dengan kondisi ini, ada potensi pekerja atau karyawan dirumahkan karena tidak adanya aktivitas produksi.

Pasalnya, jika stok barang masih banyak namun aktivitas produksi tetap dilakukan, hal ini tentu akan membuat perusahaan semakin rugi.

“Tentu kita tidak akan bisa menjual produk kita seperti biasanya. Dengan demikian bisa terjadi perumahan karyawan, karena memang tidak ada barang mau dikerjakan, stok di gudang masih banyak,” ungkapnya.

Frans bilang, kondisi ini turut diperparah dengan kompleksitas persoalan di sektor ekonomi seperti deflasi, menurunnya permintaan ekspor, kondisi geopolitik, serta ekonomi negara yang cenderung stagnan.

Dengan kondisi demikian, bukan tidak mungkin jika nantinya perusahaan atau pabrik di Jawa Tengah akan mengambil keputusan merumahkan karyawannya.

“PPN ini menimbulkan kenaikan biaya, berati harga pokok kita, produksi kita naik, padahal daya beli masyarakat tidak baik baik, beberapa bulan berturut-turut deflasi, berarti orang tidak membelanjakan uangnya,” ungkapnya.

“Produksi tidak laku, ekspor juga berkurang, barang menumpuk di gudang. Kalau gudang penuh kita mau produksi tambah rugi lagi, kalau produksi kan ada biaya listrik dan tenaga kerja,” imbuh Frans.

[Rep. Gita Fajriyani/Red. Faizal]

Share This Article