INDORAYA – Kasus kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan kembali mencuat. Kasus terbaru, seorang pimpinan pondok pesantren di Kota Semarang diduga melakukan pelecehan seksual kepada enam santriwatinya.
BAA (46), pimpinan Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al-Kahfi diduga menjadi aktor pelecehan seksual. Aksi terhadap santriwatinya dilakukan di pesantren yang berlokasi di Kelurahan Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang.
Psikolog UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Semarang, Iis Amalia mengaku, pihaknya menerima laporan dari seorang santriwati yang diduga menjadi korban dari aksi bejat BAA tersebut.
Dia menuturkan, satu korban berinisial FA melapor pertama kali pada 8 Agustus 2022. UPTD PPA Kota Semarang lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya ada enam santriwati mengaku sebagai korban.
“Dari kasus ini (pelaporan korban), kami dibantu oleh temen-temen jejaring dan para jamaah untuk mengumpulkan para korban. Sehingga total yang sudah pengaduan kepada kami ada enam korban,” kata Iis saat konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Rabu (6/9/2023).
Atas kasus tersebut, UPTD PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Semarang telah berkoordinasi bersama Kanit PPA Polrestabes Semarang.
Iis mengatakan, enam korban tersebut berinisial FA, ST, TI, IR, TK dan Mawar (nama samaran). Dua di antara enam korban itu merupakan anak di bawah umur.
Dikatakannya, kasus yang paling memungkinkan untuk bisa diproses yaitu dua anak yang masih di bawah umur. Namun hanya Mawar yang melaporkan kasus ini ke Polrestabes Semarang.
“Kasus yang paling bisa di proses adalah kasus anak Mawar yang berusia 15 tahun. Anak mawar ini orang tuanya adalah jamaah dari seorang kyai ini (BAA),” ungkap Iis.
Mawar (15) adalah salah seorang santri yang berencana mondok di Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, korban mengikuti program pembekalan di Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi Kota Semarang.
Menurut Iis, kejadian kekerasan seksual oleh pimpinan pesantren itu terjadi selama mengikuti program pembekalan. Alhasil, Mawar depresi dan kasus itu menjadi beban hidupnya.
“Akibat kekerasan yang dialami dari hasil konseling psikologi yang kami dapatkan kerjasama dengan RS Tugu, anak ini mengalami depresi, kecemasan dan somatisasi,” ungkapnya.
Kasus yang menimpa enam santriwati tersebut mendapatkan pendampingan serius dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA), termasuk LRC-KJHAM Kota Semarang.
Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah mengatakan, pada 16 Mei 2023, penyidik PPA Polrestabes Semarang membuatkan LP (Laporan Polisi) dan dilakukan pemanggilan.
“Pelaku sempat dipanggil oleh Polrestabes, pemanggilan pertama pelaku tidak datang, panggilan kedua pelaku juga tidak datang,” kata Niha yang turut hadir dalam konferensi pers di Kantor AJI Kota Semarang.
Dia mengungkapkan, saat para jamaah juga mencoba mencari keberadaan BAA, ternyata posisi pelaku tidak berada di Kota Semarang.
“Akhirnya tanggal 31 Agustus 2023 penyidik PPA mencari keberadaan pelaku dan 1 September akhirnya pelaku bisa ditemukan dan dibawa lagi ke Kota Semarang,” terang Niha.