Penonton Dibuat Terpana Dengan Penampilan Teater UIN Walisongo ‘Banjir, Kenangan-kenangan Yang Hanyut’

Athok Mahfud
18 Views
7 Min Read
Pentas teater metafisis berjudul Banjir Kenangan-kenangan yang Hanyut di Gedung O UIN Walisongo Semarang, Minggu (29/5/2022) (dok. Athok Mahfud)

INDORAYA – Di sebuah sudut ruangan yang gelap, di hadapan lilin yang memancarkan cahaya redup, seorang wanita tengah meneteskan air mata. Sambil menahan rasa sakit, kedua tangannya tak henti-hentinya menggaruk kulitnya yang gatal. Sementara itu, puluhan orang dengan mata terpana melingkar mengelilinya yang menjadi pusat perhatian.

Lima menit berselang, di sudut lain di ruangan sama yang kira-kira luasnya berukuran seperti lapangan bola futsal, seorang wanita terduduk lesu memandang langit-langit. Lilin yang menerangi raut wajahnya memperlihatkan betapa berat beban yang ia pikul. Anaknya, permata yang amat berharga itu telah hilang dalam hidupnya.

“Bahagia iku simpel, cukup iso tenguk-tenguk ning omah bareng keluarga iku iso bahagia. Bahagia itu tidak ada tataran atau standart,” kata seorang lelaki menjawab pertanyaan wanita itu tentang apa makna bahagia. Setelah anaknya hilang terseret banjir, ibu itu dirundung kesepian.

Begitulah dua scene adegan yang menyedihkan dan penuh emosional dalam pertunjukan teater berjudul “Banjir; Kenangan-kenangan yang Hanyut.” Pentas mini tanpa panggung megah, properti mahal, pancaran lighting berwarna-warni, serta iringan alat musik itu cukup membuat penonton hanyut dalam cerita tentang banjir itu.

Mereka yang hadir di Gedung O Lantai 3 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, Minggu (29/05/22) pukul 20.00 WIB malam kemarin, seketika diingatkan dengan peristiwa bencana banjir yang menerpa beberapa daerah di Indonesia satu pekan lalu.

Selama satu jam pertunjukan, penonton seolah tidak diberikan celah sedikitpun untuk mengalihkan pandangan dari aktor yang tampil di setiap sudut ruangan. Kadang-kadang penonton yang berada di tengah-tengah dibuat bingung dengan aktor yang tiba-tiba muncul di sudut lain.

Pentas itu memang tidak menggunakan panggung utama. Setiap sudut menjadi ruang bebas bagi setiap aktor untuk memerankan karakternya. Adapun penanda dari bergantinya adegan yaitu lighting yang tercipta dari lampu bohlam dan nyala api lilin yang menjadi satu titik terang dalam ruangan gelap itu.

Respon Lewat Seni

Pertunjukan sederhana itu menjadi respon dan unjuk kreativitas para remaja pegiat seni di Semarang terhadap fenomena nyata, yaitu bencana banjir rob. Seperti yang diketahui bahwa pada Senin (23/05/22) lalu, sejumlah daerah di pesisir utara pulau Jawa dilanda banjir, seperti Semarang, Pekalongan, dan Demak.

Pertunjukan pada malam tersebut merupakan hasil dari program 32 Jam Belajar Akting Bersama Eka Nusa Pertiwi yang diadakan pada 26 sampai 29 Mei 2022. Program ini merupakan kerja sama antara Teater Metafisis UIN Walisongo Semarang dengan Laboratory of Acting, sekolah keaktoran asal Jogjakarta

Tema dalam cerita itu berdasarkan fenomena nyata yang diangkat sebagai karya teater untuk mewakili perasaan para korban bencana banjir rob. Di mana para korban waktu kejadian banjir harus meninggalkan rumah yang penuh kenangan di dalamnya. Pentas bertajuk “Banjir; Kenangan-kenangan yang Hanyut” memang berdasarkan hasil riset dan observasi.

“Kita memilh tema ini karena kita mau men-chapter bencana alam seperti banjir yang terjadi di Indonesia. Yang diusung temen-temen itu juga ada beberapa banjir di Semarang, dan di kampung masing-masing,” kata Eka Nusa Pertiwi, pengajar di Laboratory of Acting saat ditemui seusai pentas.

Ia menambahkan, banjir rob yang melanda beberapa hari lalu juga menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi para pegiat seni terhadap korban bencana alam tersebut. “Dan pastinya ada kenangan-kenangan yang hanyut di situ, saat diterpa banjir,” lanjut aktris asal Jogjakarta itu.

Abdullah, pentonton asal Ngaliyan mengaku terpukau dengan penampilan tersebut meskipun awalnya ia sempat bingung dengan alur ceritanya. Namun setelah menyimak dan menikmatinya, lama-lama ia mengerti.

“Kalau pentas pada umumnya kan jelas, ada satu panggung yang menjadi pusat penampilan dan fokus perhatian. Tapi ini keren sih, kreatif, bisa eksplor jauh, padahal ini hanya ruangan kelas untuk kuliah,” katanya.

Menurutnya, pentas tersebut juga memuat kritik sosial, yang ditunjukkan pada adegan di mana korban membutuhkan bantuan, namun tawaran yang diberikan pemerintah tidak sesuai kebutuhan. “Kaya tadi ada aktor yang lapar tapi malah dibawakan pil maag dan hanya disuruh sabar-sabar,” ujarnya sambil terkekeh.

Dari Latihan 36 Jam

Di balik apresiasi dari penonton, tentunya ada usaha dan kerja keras dari setiap peserta. Proses belajarnya yang hanya 36 jam harus benar-benar mampu dioptimalkan dengan baik hingga menciptakan pentas mini ini.

Eka menjelaskan bahwa pembelajaran yang digunakan menerapkan teori keaktoran dari Richard Boleslavsky, aktor kelahiran Polandia. Pembelajaran dalam program tersebut juga menyeimbangkan antara teori dan praktik.

“Lebih banyak meriset dan observasi, olah rasa, olah tubuh, kemudian praktik terus selama 36 jam, kita praktik terus. Dan sekarang (pentas ini) hasilnya,” kata aktis pemeran film Perempuan Tanah Jahanam tersebut.

Sementara itu, Lurah Teater Metafisis, Hikam Maula Azmi, mengatakan bahwa program ini diikuti oleh 19 pegiat teater muda yang ada di kota Semarang. Menurutnya semua peserta yang sudah memiliki basic teater cukup mempermudah kelas pembelajaran dan juga pentas.

“Alhamdulillah, hampir seratus persen target terpenuhi. Seperti banyaknya peserta yang hadir. Follow up-nya nanti pribadi masing-masing, sedangkan untuk anggota Metafisis sebagai persiapan untuk pentas bulan depan,” kata Maul.

Sebelum mementaskan cerita soal banjir, para pemain harus melakukan riset dan observasi terlebih dahulu, kemudian memahami karakter masing-masing. Karakter yang diambil juga harus sesuai dengan background pemain.

“Biar kepekaan mereka terbuka terhadap lingkungan sosial dan kondisi sosial saat ini,” ungkap Eka saat menjelaskan tentang hubungan teater dengan kehidupan sosial masyarakat.

Program tersebut juga menjawab aktivitas dan eksistensi kesenian yang sempat vakum akibat dua tahun pandemi. Ke depan, hal ini diharapkan mampu memantik para pegiat seni di Semarang untuk bisa bangkit dan beradaptasi melawan pandemi.

“Mungkin ini jadi semangat baru bagi teater di Semarang. Virus itu masih ada dan sekarang mari membenahi diri dan harus maju. Semoga akan ada banyak lagi pertunjukan teater yang keren di Semarang,” ungkap Eka dengan nada tegas.

Share This Article