Pengamat Nilai Sistem Pemilu Terbuka Bisa Picu Politik Uang

Dickri Tifani
14 Views
3 Min Read
Pengamat politik asal Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah. (Foto: Dickri Tifani Badi/Indoraya)

INDORAYA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan berlangsung dengan sistem proporsional terbuka.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat politik asal Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah mengatakan, bahwa sistem terbuka diduga menjadi pemicu maraknya politik uang di Indonesia.

“Sistem pemilu proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang, karena caleg harus mengejar personal vote,” ungkap Fitriyah kepada wartawan, Senin (25/9/2023).

Ia juga menjelaskan perbedaan dampak dari Pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Menurutnya, jika terbuka tentunya yang bersaing hanya antar kandidat. Namun jika tertutup, satu partai dengan partainya yang bersaing.

Artinya jika terbuka, kata dia, pertarungan antara kandidat “menjual” bukan visi misi partai, melainkan diduga bertarung melalui politik uang.

“Apalagi mereka bertarung dengan temannya sendiri, tidak mungkin itu jualan visi misi partai. Kemudian yang dijual itu pembeda yang paling mudah, yakni politik uang,” sambungnya.

Fitriyah yang setiap harinya mengajar sebagai Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Undip itu, mengira bahwa selama sistem Pemilu yang belaku saat ini, yakni menjadi penyumbang praktik politik uang di masyarakat.

Faktor menjadi penyumbang praktik politik uang, kata dia, kecil dan luasan wilayah pertarungan atau daerah pemilihan (dapil), menjadi salah satu pemicu politik uang

Semakin kecil cakupan dapilnya, lanjutnya maka semakin tinggi praktik politik uang.

“Kalau semakin luas, politik uang tidak sebesar itu,” imbuhnya.

Fitriyah mencontohkan luasan dapil yang kecil, misalnya Pilkada dikarenakan hanya mencangkup kabupaten tertentu. Sementara dalam konteks Pilpres, wilayah pertarungannya meliputi seluruh Provinsi di Indonesia.

“Dapil untuk Pilkada itu kabupaten dan Pilpres itu seluruh provinsi, logikanya akan banyak ditemukan politik uang di pilkada. Potensinya lebih besar karena ini lingkupnya lebih kecil,” bebernya.

Untuk mengatasi praktik politik uang, ia memberikan saran agar penguatan regulasi harus dilakukan. Karena, hal ini dinilai sangat penting untuk memberantas politik uang.

Namun jika regulasi sudah dikuatkan, masyarakat juga harus berkomitmen dalam menjalankan demokrasi di Indonesia.

“Masyarakat juga ikut menyuburkan itu ketika memang ada permintaan terhadap politik uang,” tegasnya.

Dalam kacamata, perilaku korupsi yang marak terjadi di pemerintahan tak terlepas dari tradisi politik uang yang terjadi saat pemungutan suara berlangsung.

“Ada benang merah antara perilaku korupsi yang marak dengan proses-proses pemilu yang diwarnai politik uang,” ucapnya.

Menurutnya, masyarakat pedesaan menjadi yang rentan terhadap praktik politik uang. Sehingga, gagasan pembentukan desa anti politik uang di berbagai daerah menjadi hal yang ia setujui.

“Sanksi sosial itu lebih efektif, kan kalau regulasi atau hukum tidak bisa menjangkau semua. Terlebih untuk membuktikan adanya politik uang dari sisi hukum itu perlu proses panjang dan barang bukti yang mendukung,” tandasnya.

Share This Article