INDORAYA – Pakar Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Sucipto Hadi Purnomo mengkritik kesalahan penulisan huruf aksara Jawa pada plang papan nama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Kesalahan penulisan aksara Jawa itu terdapat di papan nama Gedung Disdikbud Provinsi Jawa Tengah di Jalan Pemuda Kota Semarang. Bahkan hal ini viral di media sosial setelah akun instagram @nulisjawayuk mengulasnya dalam sebuah konten video.
Papan nama tersebut sudah terpasang selama tiga tahun. Dalam ulasannya, kesalahan fatal itu terletak pada penggunaan pangkon yang seharusnya tidak ditempatkan di tengah kata, tetapi di akhir kalimat untuk mematikan aksara.
Kesalahan penempatan pangkon berada di tengah kata ‘pemerintah’, ‘provinsi’, dan ‘pendidikan’. Belum lagi, pembacaan ‘Pro’ di awal ‘Provinsi’ menjadi ‘Pra’. Termasuk ada taling dan tarung berjejer membuat aksara tidak bisa terbaca.
Merespon hal ini, Sucipto Hadi Purnomo mengatakan, kesalahan penulisan aksara Jawa di plang Disdikbud Jateng sangatlah fatal. Hal ini juga menunjukkan bahwa huruf Jawa telah mengalami pergeseran dan hanya dijadikan sebagai hiasan.
“Huruf Jawa yang mestinya fungsional sebagai informasi telah bergeser menjadi aksesoris dan juga hiasan,” kata dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes saat dihubungi Indoraya.news, Kamis (6/3/2025).
Pihaknya sangat menyayangkan institusi di bidang pendidikan dan kebudayaan justru menyalahi kaidah penulisan aksara Jawa. Padahal kata dia, penggunaan pasangan dalam aksara Jawa seperti pangkon biasa dipelajari di tingkatan sekolah dasar (SD).
“Hal-hal sederhana yang mestinya selesai pada tingkat SD pada tingkat aksara Jawa, misalnya pangkon itu tidak boleh di tengah tengah, yang taling tarung juga tidak ditempatkan semestinya,” ungkap Sucipto.
Dia menduga, kesalahan ini disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, menggunakan aplikasi atau internet untuk mengubah secara otomatis huruf berbahasa Indonesia menjadi aksara Jawa.
“Kedua pastilah yan menempel ini para tukang yang bisa saja keliru saat menempelkan. Tapi yang pasti tentu saja di atas para tukang itu ada supervisornya, kemudian mestinya bisa mengecek apakah sudah tepat dari sisi penulisan,” beber dia.
Dikatakan dia, kesalahan yang paling fatal terdapat dalam penulisan kata ‘Provinsi’. Dalam plang itu, kata ‘Provinsi’ terbaca ‘Pra’ dan setelah itu juga tidak dapat dibaca karena penggunaan pasangan taling-tarung yang tidak tepat.
“Semetinya Pemerintah Provinsi, nah ‘Provinsi’ itu gak kebaca. Ini gak ‘Pro’, tapi ‘Pra’, kemudian taling tarung itu apa gak kebaca. Itu bukan hanya salah, tapi gak kebaca. Di ‘Provinsi’ saja sudah ada dua kelsahan yang menurut saya sangat fatal,” kata Sucipto.
Lebih lanjut dia mendorong agar Disdikbud Jateng maupun institusi lainnya lebih cermat dan teliti. Misalnya jika papan nama itu dikerjakan oleh pihak luar, seharusnya Disdikbud Jateng mengoreksinya terlebih dahulu sebelum memasangnya.
“Yang mendapakan proyek pada umumnya tidak memiliki literasi yang memadai terhadap aksara Jawa. Sehingga di tempat kami para pelaksana biasanya mengkonsultasikan kepada para dosen yang dianggap mengetahui penggunaan aksara Jawa,” tandasnya.