INDORAYA – Dua kali penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) di awal tahun diminta menjadi sinyal merah atau alarm bagi Pemprov Jateng terkait Kebijakan pertanian di Jateng. Penurunan itu bisa menyebabkan kesejahteraan petani anjlok jika dibiarkan.
Wakil Ketua DPRD Jateng, Heri Pudyatmoko mengatakan, jumlah penduduk di Jawa Tengah yang berprofesi sebagai petani besar angkanya. Meski, persentase lebih besar adalah petani gurem atau dengan jumlah lahan pertanian yang kecil.
Di Jateng ada sekitar 2,9 juta petani dan separuh diantaranya adala petani gurem. Petani gurem adalah petani yang hanya memiliki lahan di bawah 2 ribu meter persegi.
Berdasarkan data BPS Jateng, dua kali penurunan NTP itu terjadi pada bulan Februari dan Maret 2022.
Pada Februari 2022, Nilai Tukar Petani Jawa Tengah Februari 2022 sebesar 102,83 atau turun 0,34 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP disebabkan penurunan Indeks Harga yang Diterima petani sebesar 0,15 persen lebih lambat dibanding kenaikan Indeks Harga yang Dibayar petani sebesar 0,19 persen.
Di saat bersamaan, pada Februari 2022, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) Jawa Tengah turun sebesar 0,73 persen. Subsektor yang mengalami penurunan NTP seperti subsektor tanaman pangan 1,54 persen dan subsektor peternakan 1,05 persen.
Sementara subsektor yang mengalami kenaikan NTP subsektor hortikultura 1,95 persen; subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat 0,24 persen; dan subsektor perikanan 0,05 persen.
“Ini Jadi alarm atau sinyal bagi Pemprov Jateng. Ini harus jadi perhatian, karena berkaitan dengan kesejahteraan petani secara langsung,” kata Heri Pudyatmoko rabu 13 April 2022.
Kemudian, pada bulan Maret lalu NTP Jawa Tengah sebesar 102,62 atau turun 0,21 persen dibanding NTP bulan sebelumnya sebesar 102,83.
Penurunan NTP disebabkan kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 0,55 persen lebih lambat dibanding kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,76 persen.
Heri mengatakan, meski penurunan kecil namun imbasnya bisa besar bagi para petani gurem. Alasannya, petani gurem di Jateng juga mendapatkan pendapatan yang kecil dari lahan pertanian mereka.
Sebagai ilustrasi, rata-rata hasil panen per hektare sawah sekitar 6 ton gabah. Saat dijual terjadi penyusutan sekitar 18 persen.
Sesuai Permendag Nomor 24 Tahun 2020 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) per Kg adalah Rp 4.200. Meskipun seringkali harga itu anjlok saat terjadi panen raya dan pada tahun lalu pada kisaran Rp 3.400/kg.
Setelah dikurangi biaya produksi dan operasional, maka pendapatan petani per bulan hanya sekitar Rp 380 ribu. Jauh lebih rendah dari UMK.
“Kebijakan yang diambil haru memudahkan petani dan meningkatkan kesejahteraan. Karena petani Jateng ini sebagai tumpuan swasembada pangan nasional,” tandas Heri yang juga menjabat sebagai bendahara DPD Partai Gerindra Jawa Tengah ini. (Advetorial-HS)