Musim Kemarau Panjang, Biaya Produksi Petani di Jateng Meningkat 30 Persen

Athok Mahfud
8 Views
3 Min Read
Ilustrasi kondisi sawah yang terdampak kekeringan di musim kemarau. (Foto: istimewa)

INDORAYA – Musim kemarau yang berkepanjangan selain berdampak pada krisis air bersih juga membuat biaya produksi para petani di sejumlah daerah di Jawa Tengah (Jateng) meningkat. Untuk menjaga padi tetap berisi, rata-rata biaya produksi petani di Jateng meningkat sebanyak 30 persen.

Naiknya biaya produksi ini disebabkan oleh mengeringnya saluran irigasi akibat musim kemarau. Bahkan, di sejumlah daerah ada sistem irigasi yang rusak hingga mengalami pendangkalan yang cukup parah.

Dampaknya ialah para petani harus mencari solusi lain agar sawahnya tetap mendapatkan aliran air yang cukup. Salah satu yang dilakukan yaitu dengan menyewa pompa air beserta membeli bahan bakarnya. Untuk melakukan ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan.

Ketua Rumah Petani Nelayan Nusantara Jawa Tengah, Riyono mengatakan, pada musim kemarau ini, biaya produksi petani untuk pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman padi meningkat. Saluran irigasi primer atau sungai tidak sepenuhya dapat diandalkan untuk kebutuhan pengarian tanaman padi.

“Kemarau panjang bikin susah cari air. Karena sumber airnya terbatas. Pompa air juga sudah dimaksimalkan tapi masih belum cukup. Jadi ada pembengkakan biaya produksi,” ungkap Riyono, belum lama ini.

Dia menyatakan, peningkatan biaya dikarenakan petani harus merogoh kocek lebih untuk menambah pemenuhan kebutuhan air. Belum lagi untuk pupuk, benih padi, hingga obat pembasmi hama untuk menjaga kualitas tanaman padi tetap berisi.

“Perbandinganya bisa sampe 20-30 persen naiknya (biaya produksi). Makin luas lahanya, makin besar. Misal per 1 hektarnya, kalau tidak kemarau itu hanya Rp 3 hingga 4 juta. Tapi sekarang (musim kemarau) sedikitnya Rp 6 juta,” kata Riyono.

Menurutnya, kebutuhan petani atas air untuk pengairan sawah memang menjadi hal yang urgen. Selain itu, kendala lain seperti hama tikus yang sering menyerang tanaman tidak ada peningkatan atau masih normal.

Lebih jauh dia berharap agar pemerintah membuat kebijakan dan program untuk mengatasi kekeringan di tiap kabupaaten/kota. Pasalnya musim kemarau yang diprediksi belum berakhir ini semakin menambah momok bagi para petani.

“Tolong kabupaten/kota, petani yang kesukitan air bisa dibanru. Kalau Dinas Pertanian punya pompa disel, bantu lah agsr biayanya tak semakin besar,” tandas Riyono.

Di sisi lain, musim kemarau yang panjang memang mengakibatkan penurunan debit air waduk di sejumlah daerah. Menurut Dinas Pekerjaan Umum, Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah, dari total 44 waduk yang tersebar di 35 kabupaten/kota, 25 waduk mengalami penurunan volume debit air.

Kepala Bidang Irigasi dan Air Baku (IAB) Dinas Pusdataru Jateng, Radito mengungkapkan, menyusutnya air waduk terjadi sejak Juni hingga Oktober 2023. Dengan kondisi ini, pihaknya menyarankan para petani untuk mengerjakan masa tanam pertama dengan menunggu keterisian air irigasi mencukupi.

“Mau tidak mau, masa tanam satu dilakukan secara bergiliran. Kemungkinan Oktober ini sudah masuk masa tanam. Sehingga pola tanam padinya dilakukan bergantian sambil menunggu ketersediaan air irigasi mencukupi,” tandas Radito.

Share This Article