INDORAYA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang menyatakan, muka tanah di pesisir Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Emas, Kecamatan Semarang Utara, mengalami penurunan sekitar tujuh hingga 13 centimeter setiap tahunnya.
Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Konservasi Lingkungan Hidup DLH Kota Semarang, Safrinal Sofaniadi, penurunan permukaan tanah atau land subsidence menjadi masalah serius. Ini menunjukkan bahwa ancaman perubahan iklim nyata terjadi.
Dia menyebut, kawasan pesisir Kampung Tambakrejo menjadi wilayah paling cepat tenggelam dengan penurunan muka tanah mencapai tujuh hingga 13 cm setiap tahunnya. Ini berdasarkan kajian sejumlah ahli dan peta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang.
“Kondisi pesisir garis pantai Semarang, posisi kita saat ini (Tambakrejo), penurunanya paling cepat. Bisa 13 cm pertahun. Maka kalau tidak difikirkan, daratan akan semakin tergerus laut,” kata Safrinal Sofaniadi.
Pemicu Muka Tanah Turun
Menurut Safrinal, tingginya penurunan muka tanah di kawasan pesisir utara dipicu oleh berbagai faktor. Salah satunya karena jenis tanah yang tergolong tanah aluvial muda atau sedimentasi.
Selain itu, ada juga faktor beban bangunan dan masifnya pengambilan air tanah untuk kebutuhan air baku bagi perumahan dan industri. Kondisi ini juga diperarah dengan muka air laut yang naik 2 milimeter setiap tahunnya.
“Jenis tanah di sini aluvial muda, karena merupakan pesisir endapan. Kemudian ada bangunan-bangunan, itu mempercepat penurunan muka tanah 10-13 cm. Belum ditambah muka air laut naik 2 milimeter tiap tahun,” katanya.
“Dampaknya kepada masyarakat? Mereka menjadi kerepotan karena harus meninggikan bangunanya (rumah) setiap lima sampai 10 tahun agar tak terkena pasang air laur,” imbuh Safrinal.
Upaya Pemkot Semarang
Untuk mempertahankan garis pantai agar tidak terancam abrasi, Pemkot Semarang terus berupaya melakukan penanaman dan perawatan mangrove di sepanjang pesisir pantai bersama instansi lain dan pegiat lingkungan.
Adapun langkah lain, kata Safrinal, Pemkot Semarang juga mempunyai program pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang diperuntukan bagi masyarakat pesisir dalam melayani kebutuhan air bersih.
“Mangrove ini ada tiga di Semarang, di daerah Tambakrejo, Tugu, dan Mangunharjo, dijaga oleh tiap komunitas. Mangrove ini penjaga daratan, karena tampa mangrove, abrasi bakal terjadi. Sedangkan pipa PDAM, tujuannya agar masyarakat tak mengambil air bawah tanah,” ungkapnya.
Lebih lanjut Pemkot Semarang meminta tiap masyarakat turut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Salah satunya yaitu dengan tetap menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove.
“Mari semua pihak peduli terhadap pesisir, termasuk masyarakat berperan denhan apa yang sekiranya bisa dilakukan. Agar manggrove bisa bertahan dan survive. Sehingga pesisir Semarang terjaga,” kata Safrinal.
Warga Meninggikan Rumah
Sementara itu, Sumarwan (56), warga Desa Tambakrejo mengaku penurunan muka tanah di kampungnya membuat setiap warga harus meninggikan rumah agar terhindar dari air pasang laut. Bahkan dirinya empat kali meninggikan tempat tinggalnya.
Dia menceritakan, bahkan dirinya pernah terpaksa hutang ke sebuah Bank untuk meninggikan rumahnya. Dia tidak bisa mengandalkan penghasilannya dari hasil mencari ikan yang rata-rata hanya Rp 100 ribu.
“Bisa empat sampai lima meter (selagi meninggikan). Saya terakhir meninggikan habis Rp40 juta. Itu (uang) harus hutang bank. Karena kerja saya nelayan penghasilanya tiap hari rata-rata Rp100 ribu,” tutur ayah tiga anak itu.
Sumarwan mengaku jika mengandalkan bantuan dari pemerintah maka akan membutuhkan waktu yang lama. Agar rumahnya tidak terlanjur tenggelam, dia bahkan memberanikan diri berhutang.
“Kalau lagi rame ya Alhamdulillah, bisa sampai Rp1 juta. Tapi kan enggak sering (dapat Rp 1 juta). Makanya kalau ngandelin (mengandalkan) bantuan ya keburu tenggelam (rumahnya),” pungkas Sumarwan.