Penulis: Amrizarois Ismail
Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan UNIKA Soegijapranata Semarang
PILKADA serentak yang akan dihelat pada 27 November 2024 merupakan tonggak penting bagi masa depan kepemimpinan daerah di Indonesia. Pemilihan ini tidak hanya menjadi ajang untuk menentukan siapa yang akan memimpin provinsi, kota, dan kabupaten selama lima tahun ke depan, tetapi juga menjadi cerminan dari bagaimana kesadaran politik, sosial, dan ekologis berkembang di kalangan masyarakat dan para calon pemimpin. Dalam konteks ini, penting untuk menyadari dan mengkritisi praktik-praktik yang merusak lingkungan, terutama tindakan yang tampaknya sepele namun berdampak signifikan, seperti vandalisme terhadap pohon dalam bentuk pemasangan alat peraga kampanye.
Pemasangan baliho, spanduk, dan flyer yang disangga pada pohon dengan menggunakan paku sering kali dianggap sebagai bagian dari kampanye politik yang biasa dilakukan. Namun, tindakan ini sebenarnya termasuk dalam kategori vandalisme, yaitu perusakan terhadap properti publik yang dalam konteks ini adalah pohon-pohon yang memiliki fungsi vital dalam ekosistem. Seperti yang diuraikan oleh Higgins et al. (2013) dalam jurnal Protecting the planet: a proposal for a law of ecocide, vandalisme terhadap pohon dapat dilihat sebagai bagian dari ekosida (ecoside), sebuah konsep yang mengacu pada penghancuran ekosistem baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam ekosida, tindakan manusia yang merusak lingkungan dianggap sebagai kejahatan yang setara dengan genosida dalam konteks kemanusiaan. Higgins juga mengusulkan agar penghancuran ekosistem dalam skala besar dianggap sebagai kejahatan internasional. Konsep ini mendapatkan momentum dalam diskusi global, terutama dalam konteks perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Ekosida tidak hanya mengacu pada tindakan-tindakan besar seperti penebangan hutan secara ilegal atau polusi industri, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan yang lebih kecil namun sistematis, seperti vandalisme terhadap pohon dalam kampanye politik.
Pohon-pohon di perkotaan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka tidak hanya menyerap karbon dioksida dan memproduksi oksigen, tetapi juga berfungsi sebagai penyaring polutan udara, penyedia habitat bagi berbagai spesies, serta elemen yang menambah nilai estetika dan sosial dari ruang publik. Kerusakan pada pohon, seperti yang disebabkan oleh paku yang menembus batang mereka, dapat mengganggu kemampuan pohon untuk menyerap nutrisi dan air, serta meningkatkan risiko infeksi oleh patogen. Dalam jangka panjang, kerusakan ini bisa mengakibatkan kematian pohon, yang pada gilirannya akan mengurangi kualitas lingkungan perkotaan secara keseluruhan. Seperti yang dijelaskan oleh Miller, et. Al. (2015) dalam buku Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces, pohon kota yang sehat adalah komponen esensial dalam menjaga kesejahteraan manusia di lingkungan perkotaan.
Implikasi Ekologis dan Politik dari Tindakan Vandalisme
Tindakan vandalisme terhadap pohon tidak bisa dipandang sebagai isu yang terisolasi; ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam ekologi politik. Paul Robbins, (2012) dalam Political Ecology: A Critical Introduction, mengkaji bagaimana kekuatan politik, ekonomi, dan sosial berinteraksi dengan lingkungan, dan bagaimana interaksi ini sering kali menghasilkan ketidakadilan ekologis. Dalam kasus vandalisme terhadap pohon, kita melihat bagaimana ambisi politik dapat mendorong tindakan-tindakan yang merusak lingkungan, yang pada akhirnya menambah beban ekologis yang sudah berat.
Selain itu, praktik vandalisme dalam bentuk lain seperti yang sering terjadi dalam demonstrasi juga perlu mendapat perhatian. Demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik yang sah dan diakui dalam demokrasi. Namun, ketika demonstrasi berujung pada tindakan-tindakan yang merusak properti publik atau lingkungan, seperti perusakan fasilitas umum, pencemaran lingkungan dengan sampah, atau bahkan penghancuran vegetasi di sekitar lokasi aksi, ini menjadi bentuk vandalisme yang tidak dapat dibenarkan. Tindakan tersebut bukan hanya merugikan lingkungan, tetapi juga merusak citra gerakan yang seharusnya menyuarakan aspirasi secara damai dan bertanggung jawab.
Ketika calon kepala daerah memutuskan untuk memasang alat peraga kampanye dengan memaku pohon, atau ketika demonstran merusak fasilitas umum dan lingkungan, mereka tidak hanya merusak alam tetapi juga menunjukkan kurangnya kesadaran ekologis yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin atau aktivis. Ini menimbulkan pertanyaan kritis: jika seorang calon pemimpin, seorang demonstran yang juga akan tampil sebagai pemimpin dimasa depan tidak bisa menghormati alam dan fasilitas publik dalam tindakan kampanye atau aksi protes, bagaimana mereka akan menangani isu-isu lingkungan dan sosial yang lebih kompleks setelah terpilih atau memegang estafet kepemimpinan di masa depan?
Studi oleh Gergely Baksay, et al (2023) dalam New Sustainable Economics menekankan bahwa keberlanjutan harus menjadi pilar utama dalam pembangunan. Pemimpin atau aktivis yang tidak menunjukkan komitmen terhadap lingkungan dalam tindakan kecilnya, cenderung tidak akan memprioritaskan keberlanjutan dalam kebijakan-kebijakan besar mereka.
Tanggung Jawab Pemilih dan Pentingnya Kesadaran Ekologis
Sebagai pemilih, kita harus mempertimbangkan apakah calon yang kita pilih memiliki kesadaran dan komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Ini bukan hanya soal janji politik, tetapi tentang tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan. Seorang pemimpin yang menghargai dan melindungi alam akan lebih mungkin mengembangkan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata; harus ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam hal ini, pemimpin atau pihak yang tidak peduli dengan lingkungan menunjukkan ketidakmampuan untuk mencapai keseimbangan tersebut. Kita perlu menyadari bahwa tindakan-tindakan kecil, seperti vandalisme terhadap pohon atau fasilitas umum, mencerminkan sikap yang lebih besar terhadap lingkungan dan masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai pemilih dan warga negara yang cerdas dan bijak, kita harus menolak calon-calon atau tindakan-tindakan yang menunjukkan perilaku merusak lingkungan dan fasilitas umum. Kita harus memilih pemimpin atau mendukung gerakan yang tidak hanya mampu membawa perubahan positif dalam masyarakat, tetapi juga memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian alam dan tata ruang publik.
Menjaga Marwah Demokrasi dari Vandalisme
Kampanye politik dan demonstrasi adalah bentuk partisipasi publik yang esensial dalam demokrasi. Namun, penting untuk diingat bahwa partisipasi ini harus dilakukan dengan cara yang baik dengan tidak merusak lingkungan atau fasilitas umum. Vandalisme, baik dalam bentuk pemasangan alat peraga kampanye yang merusak pohon maupun perusakan properti publik dalam demonstrasi, tidak hanya merusak alam tetapi juga mencoreng marwah demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, setiap individu, baik calon pemimpin, aktivis, maupun pemilih, memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar tindakan demokratis tetap berakar pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan penghormatan terhadap lingkungan dan ruang publik. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi di Indonesia terus berkembang dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab, bagi manusia maupun bagi alam. Maka dari itu, sudah saatnya kita berkata tidak untuk kaum vandalis.
Referensi:
Gergely Baksay, et al. (2023). New Economics for Sustainability. In Pénzügyi Szemle = Public Finance Quarterly (Vol. 69, Issue 1).
Higgins, P., Short, D., & South, N. (2013). Protecting the planet: A proposal for a law of ecocide. Crime, Law and Social Change, 59(3), 251–266.
Miller, R. W., Hauer, R. J., & Werner, L. P. (2015). Urban Forestry_ Planning and Managing Urban Greenspaces, Third Edition. In Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. (Issue April 2015).
Paul Robbins. (2012). Political Ecology: A Critical Introduction.