INDORAYA – Mengaji kitab kuning atau kitab klasik menjadi salah satu tradisi yang dijalankan sebagian umat muslim pada bulan puasa Ramadan.
Biasanya, “ngaji kitab kuning” menjadi agenda rutin di pesantren-pesantren atau bahkan masjid tertentu dengan tujuan memperbanyak ibadah selama bulan suci.
Seperti yang terlihat di Masjid Agung Kendal, terlihat puluhan jamaah menyimak isi kitab kuning yang dibacakan pengajar, Sabtu siang (23/4/2022).
Kegiatan pengajian kitab kuning ini, diadakan rutin sejak hari pertama Ramadan, hingga hari ke-21.
Menurut salah seorang jamaah, A Qomarudin, pengajian kitab kuning ini salah satu rangkaian agenda Masjid Agung Kendal selama bulan suci Ramadan.
“Kegiatan dilaksanakan setiap pukul 13.00 sampai 14.30 WIB, melibatkan masyarakat umum di sekitar Masjid Agung dan Kabupaten Kendal,” ujar Qomarudin,
Dirinya mengaku, sudah lama mengikuti kegiatan pengajian kitab kuning di Masjid Agung Kendal. Menurutnya kegiatan pengajian kitab kuning kali ini membahas tentang Fikih dan Tafsir.
“Kegiatan ini sudah lama diadakan, dan rutin dipelajari saat Ramadan. Dan hari ini adalah hari terakhir pengajian di bulan Ramadan 1443 Hijriah. Insya-Allah akan dilanjutkan puasa tahun depan,” ungkap Qomarudin.
Sementara itu, Mochammad Farid Fad atau yang akrab disapa Gus Farid, pengasuh Ponpes Raudlatul Muta’allimin Kendal menjelaskan, dalam literatur Islam klasik sangat sering ditemukan kutipan (nukil) pendapat ulama tertentu lengkap dengan judul kitab yang ditulisnya.
“Hal ini menunjukkan kitab kuning sejak dulu sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, kejujuran ilmiah, dan mencela plagiarisme dan pemalsuan,” ujarnya.
Prinsip inilah yang menurut Gus Farid sangat dibutuhkan dalam mengembangkan perguruan tinggi moderen sekarang ini. Dikatakan, dalam kitab kuning, terutama tingkat menengah dan tinggi, juga terutama bidang hukum atau fikih, selalu diuraikan perbedaan pendapat secara tajam dan mendalam namun tetap dipaparkan secara adil, akademis, dan santun.
“Sehingga pihak pro dan kontra, selalu diberi ruang pembahasan secara seimbang,” ungkap Gus Farid.
Walaupun penulis kitab kuning sering memilih satu pendapat yang dinilainya paling kuat (al-rajih/al-arjah), tetapi pendapat yang berseberangan walau lemah (marjuh) tetap ditampilkan. Para ulama penulis kitab kuning juga bersikap rendah hati dan objektif dalam menyimpulkan status suatu masalah.
“Ulama fikih selalu mengingatkan bahwa kebenaran yang dibuat itu adalah tetap relatif atau nisbi dan bukan kebenaran absolut atau mutlak,” ujarnya.
Oleh karena itu kesimpulan yang dibuat tidak diklaim sebagai kebenaran universal melainkan hanya kebenaran sepihak. “Statemen al-ashahhu ‘indana (paling benar menurut pendapat kami) atau wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling mengetahui),” jelas Gus Farid.
Ini membuktikan, para ulama selalu merendah dengan tidak mengklaim pendapat dan pemahamannya sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain salah semua.
Menurutnya, nilai-nilai kesantunan, rendah hati dan toleran inilah yang sangat penting dikembangkan untuk membangun keharmonisan dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negara Indonesia saat ini.
“Karena hakikat kebenaran hanyalah ada satu di dunia dan alam semesta ini, yakni hanya ada pada Allah SWT,” tandas Farid.(IR)