Ad imageAd image

Marak Kasus Kekerasan Seksual di Kampus, Ruang Aman bagi Perempuan Sulit Dicari?

Redaksi Indoraya
By Redaksi Indoraya 28 Views
4 Min Read
Ilustrasi kasus kekerasan seksual di kampus. (Foto: istimewa)

INDORAYA – Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang menjadikan perempuan sebagai korban menjadi perhatian bersama. Terciptanya ruang aman bagi perempuan di kampus ialah hal yang harus diwujudkan.

Terlebih, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang menjadi payung hukum dalam mencegah dan menangani persoalan ini.

Berdasarkan catatan survei Kemendikbud per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Sementara baru-baru ini dugaan kekerasan seksual juga mencuat di media sosial. Kasus ini terjadi di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Terduga pelaku berinisial NJI (21), mahasiswa Psikologi. Korbannya ialah mahasiswi yang tidak lain teman dekatnya sendiri.

Kepala Divisi Bantuan Hukum Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM), Nia Lishayati mengatakan, ruang aman bagi perempuan dari kasus kekerasan seksual tergantung bagaimana iklim dan kondisi yang ada di kampus.

Dia mengatakan, kampus bisa menjadi ruang aman bagi perempuan ketika benar-benar mengimplementasikan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Di mana perguruang tinggi menaruh perhatian besar terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Misalnya, lanjut Nia, ketika ada laporan kekerasan seksual, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), kampus harus menindajlanjuti dan mengambil sikap. Namun menurutnya, banyak kampus yang masih membiarkan kasus tanpa menindaklanjutinya.

“Kalau bisa memberikan ruang aman bagi korban artinya kekerasan seksual tidak didamaikan, ketika ada kekerasan seksual ada pengaduan, kampus berani bersikap. Artinya bisa menjadi ruang aman untuk korhan dan perempuan,” ujaarnya saat dihubungi, Jumat (19/4/2024).

Nia berkata, apabila kampus hanya diam saja atau lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual itu artinya tidak aman bagi korban dan perempuan. Terlebih, jika malah kampus melakukan intimidasi sehingga korban tidak berani bersuara atau melapor.

“Tapi kalau ada kasus kekerasan seksual menangani lamban, kemudian korban malah ditakuti, akhirnya gak berani untuk speak up (bersuara) gak berani melanjutkan proses hukum, artinya gak bisa menjadi ruang aman untuk perempuan korban,” kata dia.

Dia bercerita, pihaknya pernah mendampingi sejumlah laporan dugaan kekerasan seksual di kampus. Salah satunya ialah kasus yang pernah terjadi di salah satu kampus swasta di Kota Semarang. Pelaku ialah seorang dosen dan korbannya mahasiswi sendiri.

Menurut Nia, respon dari pihak kampus sangat bagus karena langsung mengakseskan korban kepada LRC-KJHAM agar mendapat layanan konseling, psikologis, dan bantuan hukum.

“Pernah ada salah satu di kampus swasta ketika ada kekerasan seksual di kampus, langsung dosennya mengakseskan korban ke LRC-KJHAM, kemudian memulihkan korban secara psikologis, mengakseskan layanan center,” ujarnya.

Lebih lanjut pihaknya juga berharap agar kampus dapat menciptakan ruang yang aman bagi perempuan dari kekerasan seksual. Ketik ada laporan yang masuk harus segera menindaklanjutinya agar pelaku menerima sanksi dan korban mendapat pemulihan.

“Waktu itu aak ada 1 minggu pelaku dipecat dari kampus. Cukup progresif. Gak malah mendapatkan intimidasi dan sebagainya padahal pelakunya dulu mahasiswa (korban) dan dosen (pelaku)” tandas Nia.

Rep: Ainun N/Red: A. Delina

Share This Article
Leave a comment