INDORAYA – Mantan Direktur Operasional Ritel PT Asuransi Jasindo, Sahata Lumban Tobing, dituntut hukuman penjara selama 4 tahun dan 6 bulan atas keterlibatannya dalam perkara korupsi yang menyeret nama PT Mitra Bina Selaras (MBS) dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 38 miliar.
Tuntutan tersebut dibacakan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jumat (11/4/2025). Selain pidana badan, jaksa juga mengajukan permintaan agar Sahata tetap ditahan dan membayar denda sebesar Rp 250 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sahata Lumban Tobing berupa pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan, dikurangi masa penahanan, serta perintah agar terdakwa tetap ditahan,” ucap jaksa dalam pembacaan tuntutannya.
Jaksa turut menuntut Sahata untuk mengganti kerugian negara sebesar Rp 525.419.000. Uang yang sebelumnya telah dikembalikan oleh Sahata akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti.
Di sisi lain, pemilik PT MBS, Toras Sotarduga Panggabean, juga dituntut hukuman 3 tahun dan 5 bulan penjara, serta denda Rp 250 juta, subsider enam bulan penjara.
Namun, karena Toras telah mengembalikan dana sebesar Rp 7,66 miliar, jaksa menyatakan dirinya tidak perlu lagi membayar uang pengganti.
“Namun karena terdakwa telah mengembalikan uang sebesar Rp 7.662.083.376,31, sehingga pengembalian uang tersebut diperhitungkan sebagai pengembalian atas harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Maka terdakwa tidak lagi dibebani untuk membayar uang pengganti,” jelas jaksa.
Jaksa menyebut bahwa tindakan keduanya tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Meski demikian, jaksa juga mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, seperti belum pernah dihukum, bersikap kooperatif, sopan di persidangan, dan memiliki tanggungan keluarga.
Sahata dan Toras didakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua.
Dalam dakwaannya, jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Sahata dan Toras melakukan praktik memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun suatu korporasi hingga mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 38,2 miliar. Aksi korupsi itu terjadi antara 2017 hingga 2020, dengan modus rekayasa kegiatan agen fiktif oleh PT MBS.
Komisi agen dibayarkan kepada PT MBS seolah-olah sebagai imbalan atas jasa penutupan asuransi di kantor-kantor Jasindo di wilayah S Parman, Pemuda, Semarang, dan Makassar. Padahal, menurut jaksa, “penutupan jasa asuransi itu tidak memakai jasa PT MBS.”
Terungkap pula bahwa hubungan Sahata dan Toras sudah terjalin sejak keduanya masih sekolah di Tarutung, Sumatera Utara. Pada 2016, mereka bertemu kembali dan Sahata mengajak Toras untuk menyediakan dana talangan, yang nantinya akan dikembalikan dalam bentuk komisi agen. Sahata kemudian memperkenalkan Toras kepada sejumlah pejabat cabang Jasindo dan meminta Toras mendirikan perusahaan yang dapat dijadikan agen Jasindo, yang kemudian dikenal sebagai PT MBS dan diresmikan pada 2017.
Akibat kerja sama tersebut, para terdakwa dinilai telah memperoleh keuntungan pribadi maupun memperkaya pihak lain. Sahata memperoleh Rp 525,4 juta, Toras mendapatkan Rp 7,6 miliar, sementara sejumlah kepala cabang Jasindo seperti Ari Prabowo menerima Rp 23,5 miliar, Fauzi Ridwan Rp 1,9 miliar, Yoki Triyuni Putra Rp 1,7 miliar, dan Umam Taufik Rp 1,4 miliar. Bahkan, sebuah bank BUMN disebut turut menerima dana sebesar Rp 1,3 miliar.