LSM Desak Prabowo Moratorium Izin Tambang Nikel

Redaksi Indoraya
16 Views
2 Min Read
Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Vietnam Luong Cuong di sela-sela gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Lima, Peru, Jumat (15/11/2024).

INDORAYA – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Indonesia dan Korea Selatan mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan sementara penerbitan izin pertambangan nikel.

Desakan ini muncul menyusul laporan mengenai kerusakan lingkungan dan konflik sosial di kawasan-kawasan tambang nikel. Para LSM berharap moratorium ini dapat memberikan waktu untuk menertibkan pelanggaran yang ada.

“Menerapkan moratorium penerbitan izin pertambangan, khususnya ekstraksi nikel di Indonesia yang diikuti dengan tinjauan dan evaluasi mendesak terhadap kebijakan dan rencana nasional pertambangan nikel dan pengembangan hilirisasi industri,” kata Direktur Indies Kurniawan Sabar dalam jumpa pers di Cikini, Jakarta, pada Rabu (12/2/2025).

Meskipun Indonesia menjadi penyumbang utama nikel di dunia dan industri pengolahan nikel terus berkembang, LSM menilai dampak buruknya tidak bisa diabaikan. Mereka mencatat polusi udara, deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta perampasan tanah akibat kurangnya regulasi yang adil.

Dukungan untuk moratorium ini juga datang dari Climate Ocean Research Institute (CORI) Korea Selatan, yang menyoroti pesatnya investasi Korea Selatan di Indonesia.

Sebagai contoh, investasi Korea Selatan dalam industri pengolahan nikel di Indonesia tercatat mencapai US$1,3 miliar pada kuartal II 2024, meningkat 1.200 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, CORI menilai investasi tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran untuk mengatasi dampak sosial dan lingkungan.

“Perusahaan-perusahaan Korea harus menyadari tantangan-tantangan ini dan memastikan operasi mereka meminimalisir dampak lingkungan dan sosial terhadap masyarakat lokal,” ujar Hyelyn Kim, Ketua Climate Ocean Research Institute (CORI).

Direktur Advocates for Public Interest Law (APIL) Shin-young Chung mengatakan hal ini sudah menjadi perhatian masyarakat sipil di Korea Selatan. Mereka telah mendorong rancanhan Undang-Undang Uji Tuntas Lingkungan dan Hak Asasi Manusia Dalam Rantai Pasok.

Menurutnya, undang-undang itu penting untuk memastikan investasi Korea di negara lain tak merusak lingkungan ataupun sosial. Produk itu, kata dia, mengikuti Petunjuk Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (CSDDD) milik Uni Eropa.

“Sebenarnya kami sudah menyerahkan draf undang-undang ke parlemen dan ditargetkan dibahas Desember lalu. Namun, darurat militer terjadi dan kami belum tahu kapan draf ini dibahas lagi. Tetapi kami terus mendorong ini,” ujar Shin.

 

Share This Article