Ad imageAd image

LRC-KJHAM Kritisi Aturan Penyediaan Alat Kontrasepsi dan Perizinan Aborsi

Athok Mahfud
By Athok Mahfud 11 Views
3 Min Read
Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Laila Hafidhoh. (Foto: Dok. Athok Mahfud/Indoraya

INDORAYA – Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) mengkritisi PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini mengatur salah satunya layanan kontrasepsi darurat dan aborsi aman untuk korban perkosaan dan tindak pidana kekerasan seksual lainnya.

Layanan kontrasepsi darurat bagi korban perkosaan untuk mencegah kehamilan ini diatur di Pasal 110. Sementara layanan aborsi aman bagi korban perkosaan dan tindak pidana kekerasan seksual lainnya diatur di Pasal 116 sampai dengan Pasal 124.

Menurut Direktur LRC-KJHAM Nur Laila Hafidhoh, masih ada celah dalam aturan tersebut. Salah satunya tidak mengatur secara detail tentang layanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam Pasal 115.

“Pengalaman LRC-KJHAM menunjukkan perempuan korban kekerasan seksual masih sulit mendapatkan layanan kontrasepsi darurat dengan mudah. Rumah sakit hanya memberikan resep, tapi tidak memberikan obat. Korban dan LRC-KJHAM diminta mencari sendiri,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Indoraya.news, belum lama ini.

Selanjutnya Laila juga menyoroti Pasal
118 huruf a yang memuat adanya syarat yang menunjukkan keterangan penyidik dalam mengakses layanan aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Pengaturan ini dinilai akan menjadi tantangan bagi perempuan korban kekerasan seksual yang mengakses layanan aborsi aman. Pasalnya kasus kekerasan seksual masih mengalami hambatan untuk dilaporkan ke proses hukum.

Berdasarkan pengalaman LRC-KJHAM, korban kekerasan seksual memiliki kekhawatiran dan ketakutan dengan proses hukum yang lama, stigma dari penyidik, takut berdampak pada pekerjaan korban, laporan tidak diterima dan takut jika dikriminalisasi.

“Seharusnya PP ini bisa memberikan peluang bagi lembaga layanan korban kekerasan seksual untuk memberikan keterangan,” tegas Laila.

Dia juga memberi catatan pada Pasal 122 ayat 2 terkait adanya pengecualian pemberlakuan syarat izin suami bagi perempuan korban kekerasan seksual yang mengakses layanan aborsi aman.

“Pasal ini akan menjadi dasar pemberian akses layanan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual termasuk korban kekerasan seksual dalam ikatan perkawinan,” kata dia.

Oleh karena itu, lebih lanjut LRC-KJHAM mendorong pemerintah untuk melakukan dua hal. Pertama, merekomendasikan penyusunan mekanisme standar layanan kontrasepsi darurat bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Kedua, merekomendasikan agar lembaga layanan untuk korban kekerasan seksual diberikan kewenangan untuk memberikan surat keterangan terkait kebutuhan layanan aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual.

“Kami juga mengajak masyarakat untuk mengawal implementasi PP ini untuk memastikan akses layanan kontrasepsi darurat dan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual,” tegas Nur Laila Hafidhoh.

Share This Article
Leave a comment