INDORAYA – Dampak dari perubahan iklim global diperkirakan dapat menyebabkan pergeseran posisi geografis kutub Bumi. Studi terbaru mengungkap, Kutub Utara bisa bergeser sejauh 27 meter atau sekitar 89 kaki sebelum akhir abad ini.
Fenomena ini terjadi karena mencairnya lapisan es dan redistribusi massa air laut di seluruh dunia. Pergeseran kutub disebabkan oleh perubahan pada sumbu rotasi Bumi, sebagaimana dijelaskan dalam riset yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters pada 5 Maret 2025.
Ketika Bumi berputar, perubahan distribusi massa di permukaannya menyebabkan planet ini sedikit bergoyang seperti gasing. Sebagian besar gerakan ini bersifat periodik dan bisa diprediksi, namun mencairnya es di Greenland, Antartika, dan gletser dunia juga berkontribusi besar terhadap perubahan ini.
Dalam studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari ETH Zurich, para ilmuwan menganalisis pergerakan kutub dari tahun 1900 hingga 2018. Mereka kemudian mengombinasikannya dengan proyeksi pencairan es akibat pemanasan global untuk memprediksi pergeseran kutub di masa mendatang.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat dalam skenario terburuk, maka Kutub Utara diperkirakan akan bergeser lebih dari 27 meter ke arah barat pada tahun 2100. Namun, dalam skenario emisi yang lebih terkendali, pergeseran tetap akan terjadi, meskipun hanya sekitar 12 meter dibandingkan posisi kutub pada tahun 1900.
Air hasil pencairan dari lapisan es di Greenland dan Antartika menjadi penyumbang terbesar dalam perubahan ini, disusul oleh melelehnya gletser.
“Efek pencairan es ini melampaui dampak dari penyesuaian isostatik glasial—yakni fenomena naik turunnya kerak bumi akibat beban es zaman es,” kata Mostafa Kiani Shahvandi, ilmuwan Bumi dari Universitas Wina, seperti dikutip dari Live Science, Kamis (10/4/2025).
Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas manusia saat ini telah memberikan pengaruh signifikan terhadap posisi kutub melebihi efek alami dari peristiwa geologis masa lampau.
Perubahan sumbu rotasi Bumi dapat berdampak pada sistem navigasi, khususnya bagi satelit dan wahana antariksa yang mengandalkan orientasi rotasi Bumi sebagai acuan. Pergeseran ini bisa menyulitkan pelacakan posisi objek di luar angkasa secara presisi.
Ke depan, Shahvandi menyebutkan bahwa penelitian lanjutan dapat menggali data iklim purba (paleoklimat) untuk menelusuri sejauh mana kutub telah bergeser selama periode perubahan iklim alami di masa lalu. Ini penting untuk memahami sejauh mana aktivitas manusia mempengaruhi dinamika sumbu rotasi planet.